Monday, March 31, 2014
Menikmati Air Minum Kemasan
Oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. —Roma 5:18
Di Amerika Serikat, sudah bertahun-tahun kami menikmati air minum kemasan secara berlebihan. Meski kebanyakan orang memiliki persediaan air yang layak minum dan tersedia cuma-cuma dari keran dan pancuran minum, mereka masih saja membeli air minum kemasan. Bagi saya, memilih untuk membeli sesuatu yang sebenarnya bisa diperoleh secara cuma-cuma tidaklah masuk akal. Namun sebagian orang meyakini bahwa suatu produk yang mereka beli pastilah lebih unggul daripada apa pun yang bisa mereka terima secara cuma-cuma.
Terkadang pandangan itu mempengaruhi juga kehidupan rohani kita. Ada sejumlah orang yang sulit untuk menerima kenyataan bahwa keselamatan itu suatu pemberian atau anugerah. Mereka merasa perlu melakukan sesuatu agar pantas memperolehnya. Masalahnya, tidak seorang pun sanggup melakukannya. Harga untuk keselamatan itu adalah kesempurnaan (Mat. 19:21), dan Yesus adalah satu-satunya Pribadi yang sanggup membayar harga itu (Rm. 5:18). Kepada siapa pun yang haus, Dia berjanji untuk memberi “minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan” (Why. 21:6).
Sebagian orang berusaha membeli air hidup keselamatan dengan jalan berbuat baik dan memberikan amal. Meski perbuatan-perbuatan tersebut merupakan bentuk pelayanan rohani yang dihargai Allah, itu semua bukanlah syarat yang dituntut Allah untuk pengampunan atas dosa kita. Yesus telah membayar harganya dengan jalan mati menggantikan kita, dan Dia menawarkan untuk memuaskan dahaga jiwa kita tatkala kita minum sepuas-puasnya dari mata air Allah yang tidak akan pernah kering. —JAL
Di Amerika Serikat, sudah bertahun-tahun kami menikmati air minum kemasan secara berlebihan. Meski kebanyakan orang memiliki persediaan air yang layak minum dan tersedia cuma-cuma dari keran dan pancuran minum, mereka masih saja membeli air minum kemasan. Bagi saya, memilih untuk membeli sesuatu yang sebenarnya bisa diperoleh secara cuma-cuma tidaklah masuk akal. Namun sebagian orang meyakini bahwa suatu produk yang mereka beli pastilah lebih unggul daripada apa pun yang bisa mereka terima secara cuma-cuma.
Terkadang pandangan itu mempengaruhi juga kehidupan rohani kita. Ada sejumlah orang yang sulit untuk menerima kenyataan bahwa keselamatan itu suatu pemberian atau anugerah. Mereka merasa perlu melakukan sesuatu agar pantas memperolehnya. Masalahnya, tidak seorang pun sanggup melakukannya. Harga untuk keselamatan itu adalah kesempurnaan (Mat. 19:21), dan Yesus adalah satu-satunya Pribadi yang sanggup membayar harga itu (Rm. 5:18). Kepada siapa pun yang haus, Dia berjanji untuk memberi “minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan” (Why. 21:6).
Sebagian orang berusaha membeli air hidup keselamatan dengan jalan berbuat baik dan memberikan amal. Meski perbuatan-perbuatan tersebut merupakan bentuk pelayanan rohani yang dihargai Allah, itu semua bukanlah syarat yang dituntut Allah untuk pengampunan atas dosa kita. Yesus telah membayar harganya dengan jalan mati menggantikan kita, dan Dia menawarkan untuk memuaskan dahaga jiwa kita tatkala kita minum sepuas-puasnya dari mata air Allah yang tidak akan pernah kering. —JAL
Yesus adalah Air Hidup—
Satu regukan akan memulihkanmu;
Minum dari mata air itu setiap hari
Jiwamu akan disegarkan oleh-Nya. —D. DeHaan
Yesus adalah satu-satunya mata air yang bisa memuaskan dahaga jiwa.
Sunday, March 30, 2014
Berbahagialah Orang Yang Lemah Lembut
Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. —Matius 5:5
Dalam bahasa Inggris, istilah meek (lemah lembut) sering kali disalahkaitkan dengan kata weak (kelemahan). Sebuah kamus yang populer memberikan pengertian sekunder tentang istilah “lemah lembut”: “terlalu tunduk; mudah dipengaruhi; tidak bernyali; tidak bersemangat”. Pengertian itu membuat sebagian orang bertanya-tanya mengapa Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (Mat. 5:5).
W. E. Vine, seorang ahli bahasa Yunani, mengatakan bahwa kelemahlembutan dalam Alkitab merupakan suatu sikap di hadapan Allah “ketika kita menerima perlakuan-Nya terhadap kita sebagai kebaikan, dan kita tidak menolak atau melawannya”. Kita melihat hal itu dalam Yesus yang melakukan kehendak Bapa-Nya dengan penuh sukacita.
Selanjutnya, Vine berkata bahwa “kelemahlembutan yang diperlihatkan Tuhan dan diberikan kepada orang percaya ini adalah hasil dari kuasa . . . Tuhan itu ‘lemah lembut’ karena Dia memiliki sumber daya tak terbatas dari Allah yang dapat dipergunakan-Nya.” Yesus bisa saja memanggil para malaikat dari surga untuk mencegah penyaliban-Nya.
Yesus berkata kepada para pengikut-Nya yang letih lesu dan berbeban berat, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat. 11:29). Dialah teladan sempurna dari kelemahlembutan.
Ketika kita sedang lelah dan bersusah hati, Yesus mengundang kita untuk menerima damai sejahtera yang dialami ketika kita mempercayai-Nya dengan lemah lembut. —DCM
Dalam bahasa Inggris, istilah meek (lemah lembut) sering kali disalahkaitkan dengan kata weak (kelemahan). Sebuah kamus yang populer memberikan pengertian sekunder tentang istilah “lemah lembut”: “terlalu tunduk; mudah dipengaruhi; tidak bernyali; tidak bersemangat”. Pengertian itu membuat sebagian orang bertanya-tanya mengapa Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (Mat. 5:5).
W. E. Vine, seorang ahli bahasa Yunani, mengatakan bahwa kelemahlembutan dalam Alkitab merupakan suatu sikap di hadapan Allah “ketika kita menerima perlakuan-Nya terhadap kita sebagai kebaikan, dan kita tidak menolak atau melawannya”. Kita melihat hal itu dalam Yesus yang melakukan kehendak Bapa-Nya dengan penuh sukacita.
Selanjutnya, Vine berkata bahwa “kelemahlembutan yang diperlihatkan Tuhan dan diberikan kepada orang percaya ini adalah hasil dari kuasa . . . Tuhan itu ‘lemah lembut’ karena Dia memiliki sumber daya tak terbatas dari Allah yang dapat dipergunakan-Nya.” Yesus bisa saja memanggil para malaikat dari surga untuk mencegah penyaliban-Nya.
Yesus berkata kepada para pengikut-Nya yang letih lesu dan berbeban berat, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat. 11:29). Dialah teladan sempurna dari kelemahlembutan.
Ketika kita sedang lelah dan bersusah hati, Yesus mengundang kita untuk menerima damai sejahtera yang dialami ketika kita mempercayai-Nya dengan lemah lembut. —DCM
Kasih membuat Juruselamat mati gantiku.
Mengapakah Dia begitu mengasihiku?
Tanpa melawan, Dia dibawa ke salib Kalvari.
Mengapakah Dia begitu mengasihiku? —Harkness
Allah berdiam di surga dan juga di dalam hati yang lemah lembut dan penuh syukur. —Walton
Saturday, March 29, 2014
Dunia Yang Lebih Baik
Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya . . . mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah. —1 Petrus 2:12
Dalam Peanuts, salah satu kartun kegemaran saya yang menampilkan Charlie Brown, tokoh Lucy yang selalu percaya diri menyatakan, “Bagaimana mungkin dunia ini menjadi semakin buruk dengan aku hidup di dalamnya? Sejak aku lahir, jelas-jelas dunia menjadi semakin baik!”
Tentu saja, Lucy sedang menunjukkan suatu pendapat yang tidak masuk akal dan ia sedang meninggikan dirinya sendiri. Akan tetapi, maksud yang hendak disampaikannya itu memang menarik. Apa yang akan terjadi apabila kita memang berusaha membuat dunia ini menjadi lebih baik dengan cara memperlihatkan kasih Kristus di mana pun Allah menempatkan kita?
Tatkala Petrus menulis kepada orang-orang percaya yang sedang teraniaya, ia menasihati mereka untuk memiliki “cara hidup yang baik” (1Ptr. 2:12) dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang pada akhirnya akan memuliakan Allah. Dengan kata lain, kita bisa menjadikan dunia lebih baik melalui setiap tindakan kita. Bayangkan perubahan yang akan terjadi di tengah dunia ini ketika kasih, belas kasihan, pengampunan, keadilan, dan damai sejahtera tersebar melalui perbuatan-perbuatan kita yang meneladani Kristus. Saya selalu meyakini, andai kata kita menerapkan ayat tersebut dalam hidup kita sehari-hari, orang mungkin akan berkata, “Kantor kami menjadi lebih baik karena ______ bekerja di sini” atau “Lingkungan kami menjadi lebih baik” atau “Sekolah kami menjadi lebih baik.”
Kita tidak bisa seorang diri saja mengubah seluruh dunia ini, tetapi oleh anugerah Allah, kita bisa memakai perubahan yang Kristus telah perbuat dalam diri kita untuk mengubah dunia di sekitar kita. —JMS
Dalam Peanuts, salah satu kartun kegemaran saya yang menampilkan Charlie Brown, tokoh Lucy yang selalu percaya diri menyatakan, “Bagaimana mungkin dunia ini menjadi semakin buruk dengan aku hidup di dalamnya? Sejak aku lahir, jelas-jelas dunia menjadi semakin baik!”
Tentu saja, Lucy sedang menunjukkan suatu pendapat yang tidak masuk akal dan ia sedang meninggikan dirinya sendiri. Akan tetapi, maksud yang hendak disampaikannya itu memang menarik. Apa yang akan terjadi apabila kita memang berusaha membuat dunia ini menjadi lebih baik dengan cara memperlihatkan kasih Kristus di mana pun Allah menempatkan kita?
Tatkala Petrus menulis kepada orang-orang percaya yang sedang teraniaya, ia menasihati mereka untuk memiliki “cara hidup yang baik” (1Ptr. 2:12) dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang pada akhirnya akan memuliakan Allah. Dengan kata lain, kita bisa menjadikan dunia lebih baik melalui setiap tindakan kita. Bayangkan perubahan yang akan terjadi di tengah dunia ini ketika kasih, belas kasihan, pengampunan, keadilan, dan damai sejahtera tersebar melalui perbuatan-perbuatan kita yang meneladani Kristus. Saya selalu meyakini, andai kata kita menerapkan ayat tersebut dalam hidup kita sehari-hari, orang mungkin akan berkata, “Kantor kami menjadi lebih baik karena ______ bekerja di sini” atau “Lingkungan kami menjadi lebih baik” atau “Sekolah kami menjadi lebih baik.”
Kita tidak bisa seorang diri saja mengubah seluruh dunia ini, tetapi oleh anugerah Allah, kita bisa memakai perubahan yang Kristus telah perbuat dalam diri kita untuk mengubah dunia di sekitar kita. —JMS
Kasih berarti memberikan yang dunia butuhkan,
Kasih berarti berbagi menuruti pimpinan Roh,
Kasih berarti mau peduli ketika dunia menangis,
Kasih berarti melayani dengan belas kasih Kristus. —Brandt
Setiap orang bisa menjadikan dunia ini lebih baik— dengan membuat kemuliaan Kristus bersinar melalui kita.
Friday, March 28, 2014
Menanti
Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa! —Roma 12:12
Selama bertahun-tahun, hari demi hari, Harry mencurahkan beban hatinya kepada Tuhan tentang John, menantunya, yang telah meninggalkan Allah. Namun suatu hari, Harry meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian, John pun bertobat dan kembali percaya kepada Allah. Ketika ibu mertuanya, Marsha, memberitahukan kepada John bahwa Harry telah berdoa baginya setiap hari, John menjawab, “Aku telah menunda terlalu lama.” Namun Marsha dengan penuh sukacita mengatakan kepada John: “Tuhan masih menjawab doa-doa yang dipanjatkan Harry semasa hidupnya.”
Kisah Harry dan doa-doanya menjadi suatu dorongan bagi kita yang sedang berdoa dan menanti. Harry tetap “[bertekun] dalam doa” dan menanti dengan sabar (Rm. 12:12).
Penulis dari Mazmur 130 mengalami penantian akan jawaban dari doanya. Ia berkata, “Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti” (ay.5). Ia menemukan pengharapan dalam Allah karena percaya bahwa “pada TUHAN ada kasih setia, dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan” (ay.7).
Penulis Samuel Enyia menulis demikian tentang waktunya Allah: “Allah tidak bergantung pada waktu yang kita jalani. Waktu yang kita jalani bersifat kronologis dan linear, tetapi Allah . . . tidak dibatasi oleh waktu. Dia akan bertindak tepat pada waktu-Nya. Doa kita . . . mungkin tidak mendesak Allah untuk segera bertindak, tetapi. . . akan menempatkan kita di hadapan-Nya dalam persekutuan dengan-Nya.”
Alangkah istimewanya kita dapat bersekutu dengan Allah dalam doa dan dalam menantikan jawaban doa itu digenapi Allah pada waktu-Nya. —AMC
Selama bertahun-tahun, hari demi hari, Harry mencurahkan beban hatinya kepada Tuhan tentang John, menantunya, yang telah meninggalkan Allah. Namun suatu hari, Harry meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian, John pun bertobat dan kembali percaya kepada Allah. Ketika ibu mertuanya, Marsha, memberitahukan kepada John bahwa Harry telah berdoa baginya setiap hari, John menjawab, “Aku telah menunda terlalu lama.” Namun Marsha dengan penuh sukacita mengatakan kepada John: “Tuhan masih menjawab doa-doa yang dipanjatkan Harry semasa hidupnya.”
Kisah Harry dan doa-doanya menjadi suatu dorongan bagi kita yang sedang berdoa dan menanti. Harry tetap “[bertekun] dalam doa” dan menanti dengan sabar (Rm. 12:12).
Penulis dari Mazmur 130 mengalami penantian akan jawaban dari doanya. Ia berkata, “Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti” (ay.5). Ia menemukan pengharapan dalam Allah karena percaya bahwa “pada TUHAN ada kasih setia, dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan” (ay.7).
Penulis Samuel Enyia menulis demikian tentang waktunya Allah: “Allah tidak bergantung pada waktu yang kita jalani. Waktu yang kita jalani bersifat kronologis dan linear, tetapi Allah . . . tidak dibatasi oleh waktu. Dia akan bertindak tepat pada waktu-Nya. Doa kita . . . mungkin tidak mendesak Allah untuk segera bertindak, tetapi. . . akan menempatkan kita di hadapan-Nya dalam persekutuan dengan-Nya.”
Alangkah istimewanya kita dapat bersekutu dengan Allah dalam doa dan dalam menantikan jawaban doa itu digenapi Allah pada waktu-Nya. —AMC
Berdoalah! Berdoalah! Jangan lelah berdoa,
Dan jika jawabannya tak kaulihat, menantilah;
Allahmu akan datang, Dia pasti datang,
Dia takkan pernah datang terlambat. —Chisholm
Allah mungkin menunda jawaban atas permohonan kita, tetapi Dia tak pernah mengecewakan kepercayaan kita.
Thursday, March 27, 2014
Penghubung Kehidupan
Dia telah menyelamatkan kita, . . . karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus. —Titus 3:5
Saat Morris Frank (1908-1980) berusia 16 tahun, ia telah kehilangan seluruh penglihatannya. Beberapa tahun kemudian, ia berkunjung ke Swiss dan bertemu dengan Buddy, seekor anjing yang berperan besar untuk mendorong keterlibatan Frank dalam membangun suatu sekolah bagi anjing pemandu yang disebut Seeing Eye.
Dengan Buddy yang berjalan di depan dan memimpin langkahnya, Frank belajar untuk dapat berjalan di tengah trotoar yang padat dan menyeberangi persimpangan jalan yang sibuk. Pada saat Frank menggambarkan kebebasan yang diberikan oleh anjing pemandunya, ia berkata, “Sungguh luar biasa: cukup [Buddy] dan seutas tali pengikat yang menghubungkanku dengan kehidupan.” Buddy memberikan suatu akses baru bagi Morris Frank untuk menjelajahi dunia di sekelilingnya.
Roh Kudus dari Allah memberi kita akses untuk menikmati suatu kehidupan rohani yang berkelimpahan dalam Kristus. Ketika kita menerima Kristus sebagai Tuhan, Allah menghapus seluruh dosa kita dan memperbarui kita “oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita” (Tit. 3:5-6). Setelah kita mengenal Kristus, Roh Kudus membantu kita untuk mengalami kasih Allah (Rm. 5:5), memahami firman Allah (Yoh. 14:26), berdoa (Rm. 8:26), dan berlimpah-limpah dalam pengharapan (Rm. 15:13).
Hari ini, ketika kamu merenungkan tentang hubunganmu dengan Allah, ingatlah bahwa Roh Kudus menjadi pemandumu menuju hidup dalam Kristus (Rm. 8:14). —JBS
Saat Morris Frank (1908-1980) berusia 16 tahun, ia telah kehilangan seluruh penglihatannya. Beberapa tahun kemudian, ia berkunjung ke Swiss dan bertemu dengan Buddy, seekor anjing yang berperan besar untuk mendorong keterlibatan Frank dalam membangun suatu sekolah bagi anjing pemandu yang disebut Seeing Eye.
Dengan Buddy yang berjalan di depan dan memimpin langkahnya, Frank belajar untuk dapat berjalan di tengah trotoar yang padat dan menyeberangi persimpangan jalan yang sibuk. Pada saat Frank menggambarkan kebebasan yang diberikan oleh anjing pemandunya, ia berkata, “Sungguh luar biasa: cukup [Buddy] dan seutas tali pengikat yang menghubungkanku dengan kehidupan.” Buddy memberikan suatu akses baru bagi Morris Frank untuk menjelajahi dunia di sekelilingnya.
Roh Kudus dari Allah memberi kita akses untuk menikmati suatu kehidupan rohani yang berkelimpahan dalam Kristus. Ketika kita menerima Kristus sebagai Tuhan, Allah menghapus seluruh dosa kita dan memperbarui kita “oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita” (Tit. 3:5-6). Setelah kita mengenal Kristus, Roh Kudus membantu kita untuk mengalami kasih Allah (Rm. 5:5), memahami firman Allah (Yoh. 14:26), berdoa (Rm. 8:26), dan berlimpah-limpah dalam pengharapan (Rm. 15:13).
Hari ini, ketika kamu merenungkan tentang hubunganmu dengan Allah, ingatlah bahwa Roh Kudus menjadi pemandumu menuju hidup dalam Kristus (Rm. 8:14). —JBS
Roh Kudus, sinarilah
Hati gundah dan lelah.
Ganti kuasa yang gelap
Dengan t’rang-Mu yang tetap. —Reed
(Kidung Jemaat, No. 236)
Roh Kudus memandu kita menuju pemahaman dan pertumbuhan rohani.
Wednesday, March 26, 2014
Dari Suatu Kekacauan
Cerita & Ilustrasi oleh Heri Kurniawan
Janganlah mereka memfitnah, . . . hendaklah mereka selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang. —Titus 3:2
Semua yang saya amati membuat saya meyakini kebenaran ini: Keteraturan sesungguhnya tidak alami. Kalau saya mengingat ruang kerja saya sendiri, saya terheran-heran betapa cepatnya ruangan itu berubah menjadi berantakan dan betapa lamanya waktu yang saya butuhkan untuk merapikan semuanya kembali. Keteraturan perlu diusahakan dan tidak terjadi dengan sendirinya.
Seharusnya saya tidak perlu heran. Peran Allah dalam menciptakan keteraturan dari suatu kekacauan adalah tema yang sangat menonjol dalam Alkitab. Dia melakukannya ketika membentuk bangsa Israel (Kel. 7-14). Pada saat Allah berfirman bahwa telah tiba saatnya orang Ibrani untuk keluar dari Mesir, Firaun tidak menyetujuinya. Gerak perekonomian negaranya bergantung pada para budak Ibrani itu sehingga Firaun tidak mau kehilangan mereka. Untuk mengubah keputusan Firaun, Allah mengirim 10 tulah untuk meyakinkannya. Para ahli sihir Firaun sanggup meniru dua tulah pertama, tetapi mereka tidak sanggup menghentikan satu pun dari tulah-tulah tersebut. Mereka bisa menyebabkan kekacauan, tetapi mereka tidak bisa memulihkan keteraturan. Hanya Allah yang sanggup melakukannya.
Kita bisa berusaha membawa keteraturan di tempat tinggal atau ruang kerja kita, tetapi tidak seorang pun bisa menciptakan keteraturan dari kekacauan emosi dan rohani dalam hidup ini. Hanya Allah yang dapat melakukannya. Dia akan memulihkan keteraturan dari keadaan-keadaan kacau yang telah terjadi ketika kita hidup menurut kehendak Allah—menjauhi fitnah dan pertengkaran, selalu ramah, dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang (Tit. 3:2). —JAL
Bapa, dalam dunia dan hidup kami, ada banyak kekacauan dan
kebingungan. Kami membutuhkan-Mu untuk memulihkan jiwa kami.
Tolong kami untuk hidup seperti yang Kau kehendaki—
yaitu dengan mengasihi sesama.
Ketika kita menaruh perkara kita dalam tangan Allah, Dia menaruh damai sejahtera-Nya dalam hati kita.
Tuesday, March 25, 2014
Siapa Yang Berada Di Pusat?
Rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hati-Nya turun-temurun. —Mazmur 33:11
Baru-baru ini, saya mengalami kondisi yang disebut sebagai “Momen Copernicus”. Saya dibuat tersadar bahwa diri saya bukanlah pusat dari alam semesta ini. Dunia ini tidak berputar mengitari saya. Dunia juga tidak bergerak menurut kecepatan, keadaan, atau kehendak saya.
Meski kita mungkin berharap tidak demikian, tetapi kenyataannya kehidupan tidaklah semata-mata soal diri kita. Justru sebaliknya, semuanya berpusat kepada Tuhan. Dalam Mazmur 33, kita membaca bahwa seluruh alam semesta berpusat kepada Allah dan berada di bawah kendali-Nya (ay.6-9). Allah menetapkan batas-batas air laut dan menempatkan samudera raya dalam wadah. Segala sesuatu di alam semesta berjalan menurut hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.
Bangsa-bangsa juga berpusat kepada Allah (ay.10-12). Tidak ada rencana atau rancangan yang akan berhasil menggagalkan rencana Allah. Pada akhirnya, rencana Tuhanlah yang tetap bertahan hingga selamanya. Rancangan-Nya tidak akan pernah tergoyahkan.
Akhirnya, hidup seluruh umat manusia berpusat kepada Tuhan (ay.13-19). Allah melihat umat manusia secara menyeluruh. Allah menciptakan hati kita, dan Dia memahami semua yang kita lakukan. Dia pun memiliki kuasa untuk ikut campur tangan di dalam hidup kita dan melepaskan kita dari keadaan-keadaan yang berjalan di luar kendali kita.
Hidup kita diciptakan untuk berpusat kepada Allah, bukan pada diri kita sendiri. Alangkah bersyukurnya kita karena bisa melayani Allah yang sedemikian Mahakuasa dan yang memegang kendali atas setiap aspek hidup kita. —PFC
Baru-baru ini, saya mengalami kondisi yang disebut sebagai “Momen Copernicus”. Saya dibuat tersadar bahwa diri saya bukanlah pusat dari alam semesta ini. Dunia ini tidak berputar mengitari saya. Dunia juga tidak bergerak menurut kecepatan, keadaan, atau kehendak saya.
Meski kita mungkin berharap tidak demikian, tetapi kenyataannya kehidupan tidaklah semata-mata soal diri kita. Justru sebaliknya, semuanya berpusat kepada Tuhan. Dalam Mazmur 33, kita membaca bahwa seluruh alam semesta berpusat kepada Allah dan berada di bawah kendali-Nya (ay.6-9). Allah menetapkan batas-batas air laut dan menempatkan samudera raya dalam wadah. Segala sesuatu di alam semesta berjalan menurut hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.
Bangsa-bangsa juga berpusat kepada Allah (ay.10-12). Tidak ada rencana atau rancangan yang akan berhasil menggagalkan rencana Allah. Pada akhirnya, rencana Tuhanlah yang tetap bertahan hingga selamanya. Rancangan-Nya tidak akan pernah tergoyahkan.
Akhirnya, hidup seluruh umat manusia berpusat kepada Tuhan (ay.13-19). Allah melihat umat manusia secara menyeluruh. Allah menciptakan hati kita, dan Dia memahami semua yang kita lakukan. Dia pun memiliki kuasa untuk ikut campur tangan di dalam hidup kita dan melepaskan kita dari keadaan-keadaan yang berjalan di luar kendali kita.
Hidup kita diciptakan untuk berpusat kepada Allah, bukan pada diri kita sendiri. Alangkah bersyukurnya kita karena bisa melayani Allah yang sedemikian Mahakuasa dan yang memegang kendali atas setiap aspek hidup kita. —PFC
Ajari aku, ya Tuhan, untuk menjalani kebenaran Mazmur 33 dalam
hidupku sehari-hari. Biarlah aku tunduk kepada-Mu sebagaimana
seharusnya. Kiranya aku dan segenap penghuni bumi ini takjub
akan Engkau, karena firman dan rencana-Mu tetap selamanya.
Mematikan kepentingan diri berarti hidup untuk Allah.
Monday, March 24, 2014
Saksi Yang Penuh Kasih
Kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi. —Kisah Para Rasul 1:8
Bertahun-tahun lalu, saya pernah dirawat di rumah sakit setelah mengalami suatu kecelakaan yang nyaris merenggut jiwa. Saya terjatuh dari sebuah jembatan setinggi hampir 12 meter. Di rumah sakit, istri dari pasien yang terbaring di sebelah saya datang menjenguk dan berbicara dengan saya. “Suamiku baru saja menceritakan apa yang kau alami,” katanya. “Kami percaya Allah menyelamatkan hidupmu karena Dia ingin memakai dirimu. Kami selalu berdoa untukmu.”
Saya pun terpana. Selama ini saya rajin berbakti di gereja, tetapi tidak pernah terbayang oleh saya bahwa Allah ingin turut campur tangan dalam hidup saya. Perkataan wanita itu mengarahkan saya kepada Juruselamat yang selama ini hanya saya dengar tetapi tidak pernah saya kenal secara pribadi, dan itu mengawali perjalanan iman saya dalam Kristus. Saya mensyukuri peristiwa itu, karena lewat perkataannya, seorang saksi dengan penuh kasih dan peduli menyaksikan kasih Allah yang nyata pada seseorang yang belum dikenalnya. Kata-katanya mengandung kepedulian dan perhatian, serta memberikan tujuan dan janji yang bisa saya percayai.
Yesus menantang murid-murid-Nya—dan kita—untuk menyaksikan kasih Allah kepada orang lain: “Kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8).
Melalui Roh Kudus, perkataan dan kesaksian kita bisa mempengaruhi orang lain dan membawanya pada hidup yang kekal. —WEC
Bertahun-tahun lalu, saya pernah dirawat di rumah sakit setelah mengalami suatu kecelakaan yang nyaris merenggut jiwa. Saya terjatuh dari sebuah jembatan setinggi hampir 12 meter. Di rumah sakit, istri dari pasien yang terbaring di sebelah saya datang menjenguk dan berbicara dengan saya. “Suamiku baru saja menceritakan apa yang kau alami,” katanya. “Kami percaya Allah menyelamatkan hidupmu karena Dia ingin memakai dirimu. Kami selalu berdoa untukmu.”
Saya pun terpana. Selama ini saya rajin berbakti di gereja, tetapi tidak pernah terbayang oleh saya bahwa Allah ingin turut campur tangan dalam hidup saya. Perkataan wanita itu mengarahkan saya kepada Juruselamat yang selama ini hanya saya dengar tetapi tidak pernah saya kenal secara pribadi, dan itu mengawali perjalanan iman saya dalam Kristus. Saya mensyukuri peristiwa itu, karena lewat perkataannya, seorang saksi dengan penuh kasih dan peduli menyaksikan kasih Allah yang nyata pada seseorang yang belum dikenalnya. Kata-katanya mengandung kepedulian dan perhatian, serta memberikan tujuan dan janji yang bisa saya percayai.
Yesus menantang murid-murid-Nya—dan kita—untuk menyaksikan kasih Allah kepada orang lain: “Kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8).
Melalui Roh Kudus, perkataan dan kesaksian kita bisa mempengaruhi orang lain dan membawanya pada hidup yang kekal. —WEC
‘Ku suka menuturkan cerita mulia,
Cerita Tuhan Yesus dan cinta kasih-Nya.
‘Ku suka menuturkan cerita yang benar,
Penawar hati rindu, pelipur terbesar. —Hankey
(Kidung Jemaat, No. 427)
Perkataan yang penuh kasih bisa memberikan pengaruh yang jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan.
Sunday, March 23, 2014
Mendorong Kesatuan
Yang dibenci TUHAN . . . seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara. —Amsal 6:16,19
Nada ucapan yang digunakan dalam Amsal 6:16-19 sungguh tegas. Termasuk dalam daftar tujuh hal yang dibenci Tuhan adalah seseorang yang “menimbulkan pertengkaran saudara”. Alasan hal tersebut dicantumkan adalah karena dosa itu merusak kesatuan yang dikehendaki Kristus dari para pengikut-Nya (Yoh. 17:21-22).
Mereka yang menimbulkan pertengkaran mungkin pada awalnya tidak bermaksud untuk menciptakan perpecahan. Perhatian mereka mungkin tersita untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau kepentingan kelompok mereka sendiri (Yak. 4:1-10). Contohnya ketika para gembala Lot berselisih dengan para gembala Abraham (Kej. 13:1-18); para murid Kristus berselisih mengenai siapa yang terbesar di antara mereka (Luk. 9:46); dan golongan-golongan dalam jemaat Korintus yang menonjolkan diri mereka masing-masing di atas kesatuan dalam Roh (1Kor. 3:1-7).
Jadi apakah cara yang terbaik untuk mendorong kesatuan? Semua itu harus dimulai dengan perubahan hati. Ketika kita memiliki pikiran Kristus, kita akan mengembangkan sikap rendah hati dan mengutamakan kepentingan sesama (Flp. 2:5-11). Hanya dalam Dia, kita akan dimampukan untuk tidak “hanya memperhatikan kepentingan [kita] sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (ay.4). Barulah kemudian kebutuhan dan harapan orang lain menjadi lebih penting daripada kebutuhan dan harapan kita sendiri.
Seiring bertambah eratnya ikatan kasih, kita akan mengalami bagaimana pertengkaran tergantikan oleh sukacita dan kesatuan (lihat Mzm. 133:1). —HDF
Nada ucapan yang digunakan dalam Amsal 6:16-19 sungguh tegas. Termasuk dalam daftar tujuh hal yang dibenci Tuhan adalah seseorang yang “menimbulkan pertengkaran saudara”. Alasan hal tersebut dicantumkan adalah karena dosa itu merusak kesatuan yang dikehendaki Kristus dari para pengikut-Nya (Yoh. 17:21-22).
Mereka yang menimbulkan pertengkaran mungkin pada awalnya tidak bermaksud untuk menciptakan perpecahan. Perhatian mereka mungkin tersita untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau kepentingan kelompok mereka sendiri (Yak. 4:1-10). Contohnya ketika para gembala Lot berselisih dengan para gembala Abraham (Kej. 13:1-18); para murid Kristus berselisih mengenai siapa yang terbesar di antara mereka (Luk. 9:46); dan golongan-golongan dalam jemaat Korintus yang menonjolkan diri mereka masing-masing di atas kesatuan dalam Roh (1Kor. 3:1-7).
Jadi apakah cara yang terbaik untuk mendorong kesatuan? Semua itu harus dimulai dengan perubahan hati. Ketika kita memiliki pikiran Kristus, kita akan mengembangkan sikap rendah hati dan mengutamakan kepentingan sesama (Flp. 2:5-11). Hanya dalam Dia, kita akan dimampukan untuk tidak “hanya memperhatikan kepentingan [kita] sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (ay.4). Barulah kemudian kebutuhan dan harapan orang lain menjadi lebih penting daripada kebutuhan dan harapan kita sendiri.
Seiring bertambah eratnya ikatan kasih, kita akan mengalami bagaimana pertengkaran tergantikan oleh sukacita dan kesatuan (lihat Mzm. 133:1). —HDF
Bagai laskar jaya G’reja maju t’rus
Di jejak teladan saksi yang kudus.
Kita satu tubuh yang kudus dan am;
Satu pengharapan, satu pun iman. —Baring-Gould
(Kidung Jemaat, No. 339)
Bersama kita bisa mencapai lebih daripada kita sendirian.
Saturday, March 22, 2014
Akan Datang Segera!
“Ya, Aku datang segera.” —Wahyu 22:20
Pengumuman yang mencantumkan kata-kata “AKAN DATANG SEGERA!” sering mendahului peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dalam bidang hiburan dan olahraga, atau menjelang peluncuran suatu perangkat teknologi terbaru. Tujuan dari pengumuman itu adalah agar orang menanti-nantikan hal yang akan terjadi dengan penuh semangat, sekalipun mungkin berbulan-bulan kemudian hal itu baru menjadi kenyataan.
Ketika membaca kitab Wahyu, saya mendapatkan kesan betapa kuatnya perasaan “akan datang segera” yang meresapi seluruh kitab ini. Yang tertulis bukanlah, “Suatu hari nanti, di masa depan yang masih jauh, Yesus Kristus akan datang kembali,” melainkan kalimat-kalimat yang dipenuhi dengan ungkapan seperti “apa yang harus segera terjadi” (1:1) dan “waktunya sudah dekat” (ay.3). Sebanyak tiga kali di pasal terakhir, Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku datang segera” (Why. 22:7,12,20). Terjemahan lain menuliskan ungkapan ini demikian, “Tidak lama lagi Aku akan datang”.
Bagaimana mungkin ini benar? Bukankah 2000 tahun telah berlalu sejak perkataan tersebut dituliskan? Kata “segera” sepertinya tidak tepat jika dilihat dari pemahaman kita mengenai waktu.
Daripada memikirkan tentang tanggal kedatangan-Nya kembali, Tuhan mendorong kita untuk memegang teguh janji yang akan digenapi-Nya. Kita dipanggil untuk menjalani hidup bagi-Nya di zaman ini “dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan pernyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus” (Tit. 2:13). —DCM
Pengumuman yang mencantumkan kata-kata “AKAN DATANG SEGERA!” sering mendahului peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dalam bidang hiburan dan olahraga, atau menjelang peluncuran suatu perangkat teknologi terbaru. Tujuan dari pengumuman itu adalah agar orang menanti-nantikan hal yang akan terjadi dengan penuh semangat, sekalipun mungkin berbulan-bulan kemudian hal itu baru menjadi kenyataan.
Ketika membaca kitab Wahyu, saya mendapatkan kesan betapa kuatnya perasaan “akan datang segera” yang meresapi seluruh kitab ini. Yang tertulis bukanlah, “Suatu hari nanti, di masa depan yang masih jauh, Yesus Kristus akan datang kembali,” melainkan kalimat-kalimat yang dipenuhi dengan ungkapan seperti “apa yang harus segera terjadi” (1:1) dan “waktunya sudah dekat” (ay.3). Sebanyak tiga kali di pasal terakhir, Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku datang segera” (Why. 22:7,12,20). Terjemahan lain menuliskan ungkapan ini demikian, “Tidak lama lagi Aku akan datang”.
Bagaimana mungkin ini benar? Bukankah 2000 tahun telah berlalu sejak perkataan tersebut dituliskan? Kata “segera” sepertinya tidak tepat jika dilihat dari pemahaman kita mengenai waktu.
Daripada memikirkan tentang tanggal kedatangan-Nya kembali, Tuhan mendorong kita untuk memegang teguh janji yang akan digenapi-Nya. Kita dipanggil untuk menjalani hidup bagi-Nya di zaman ini “dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan pernyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus” (Tit. 2:13). —DCM
Kabar yang indah benar,
Kidung besar menggegar,
Sabda Rajamu dengar!
Yesus ‘kan datang seg’ra. —Peterson
(Pujian Bagi Sang Raja, No. 1398)
Hiduplah seolah-olah Kristus akan datang hari ini.
Friday, March 21, 2014
Masih Giat Bekerja
“Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia.” —Matius 25:23
Vivian dan Don kini sama-sama berusia 90-an tahun dan mereka telah menikah selama lebih dari 70 tahun. Baru-baru ini kesehatan Vivian memburuk ketika ia jatuh dan tulang panggulnya patah. Keadaan itu semakin menyulitkan mereka, karena selama beberapa tahun belakangan, Don dan Vivian merasa sedih saat menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak lagi cukup kuat untuk tetap aktif dalam beragam kegiatan dan pelayanan di gereja mereka.
Meski diperhadapkan pada keadaan yang sulit, Vivian dan Don masih giat bekerja bagi Tuhan. Mereka kini menjadi pendoa syafaat yang tekun. Meski mereka tidak selalu hadir secara fisik dan ikut aktif dalam berbagai kegiatan gereja, mereka tetap setia “di balik layar” dalam pelayanan mereka bagi-Nya.
Perumpamaan tentang talenta dalam Matius 25 mengingatkan kita bahwa kita harus menggunakan “talenta” yang Allah berikan kepada kita dengan bijaksana. Kita semua memiliki berbagai tingkat keahlian dan kemampuan yang telah diberikan oleh Allah—dan kita tidak boleh mengubur dan menelantarkan pemberian Allah kepada kita.
Allah akan memakai kita bukan hanya pada masa-masa ketika kita masih kuat. Baik saat kita masih remaja atau sudah menua, bahkan ketika kita sedang sakit maupun lemah, Dia akan memakai kita. Vivian dan Don terus melayani Allah melalui doa-doa mereka. Dan seperti mereka, kita pun menghormati Sang Juruselamat dengan memakai kemampuan kita—“masing-masing menurut kesanggupannya” (ay.15) untuk melayani Dia yang memang layak menerimanya. —JDB
Vivian dan Don kini sama-sama berusia 90-an tahun dan mereka telah menikah selama lebih dari 70 tahun. Baru-baru ini kesehatan Vivian memburuk ketika ia jatuh dan tulang panggulnya patah. Keadaan itu semakin menyulitkan mereka, karena selama beberapa tahun belakangan, Don dan Vivian merasa sedih saat menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak lagi cukup kuat untuk tetap aktif dalam beragam kegiatan dan pelayanan di gereja mereka.
Meski diperhadapkan pada keadaan yang sulit, Vivian dan Don masih giat bekerja bagi Tuhan. Mereka kini menjadi pendoa syafaat yang tekun. Meski mereka tidak selalu hadir secara fisik dan ikut aktif dalam berbagai kegiatan gereja, mereka tetap setia “di balik layar” dalam pelayanan mereka bagi-Nya.
Perumpamaan tentang talenta dalam Matius 25 mengingatkan kita bahwa kita harus menggunakan “talenta” yang Allah berikan kepada kita dengan bijaksana. Kita semua memiliki berbagai tingkat keahlian dan kemampuan yang telah diberikan oleh Allah—dan kita tidak boleh mengubur dan menelantarkan pemberian Allah kepada kita.
Allah akan memakai kita bukan hanya pada masa-masa ketika kita masih kuat. Baik saat kita masih remaja atau sudah menua, bahkan ketika kita sedang sakit maupun lemah, Dia akan memakai kita. Vivian dan Don terus melayani Allah melalui doa-doa mereka. Dan seperti mereka, kita pun menghormati Sang Juruselamat dengan memakai kemampuan kita—“masing-masing menurut kesanggupannya” (ay.15) untuk melayani Dia yang memang layak menerimanya. —JDB
Tuhan, Engkau telah berbuat begitu banyak bagiku. Tunjukkanlah
padaku apa yang bisa kulakukan untuk melayani dan menghormati-Mu
lewat kemampuan yang Kau beri. Kuserahkan hidupku menjadi
persembahan dalam rupa kasih dan tindakan yang memuliakan-Mu.
Berapa pun usiamu, Allah bisa memakaimu— asal kamu bersedia dipakai oleh-Nya.
Thursday, March 20, 2014
Kasih Yang Salah Sasaran
Berhala-berhala mereka adalah perak dan emas, buatan tangan manusia. —Mazmur 115:4
Martin Lindstrom, seorang penulis dan pembicara, beranggapan bahwa telepon seluler (ponsel) tampaknya telah menjadi seperti sahabat baik bagi para pemiliknya. Lindstrom menjelaskan pernyataannya itu lewat penelitian yang diterapkannya dengan menggunakan teknik MRI (Pencitraan Resonansi Magnetik). Ketika subjek penelitian melihat atau mendengar ponselnya berdering, otak mereka memancarkan sel-sel saraf di area yang berkaitan dengan rasa cinta dan belas kasih. Lindstrom berkata, “Seolah-olah mereka sedang berada bersama seorang kekasih atau anggota keluarga mereka.”
Banyak hal yang bersaing untuk merebut rasa sayang, waktu, dan perhatian kita, dan tampaknya kita harus selalu meninjau ulang hal-hal yang telah menjadi pusat perhatian dalam hidup kita. Yosua memerintahkan bangsa Israel untuk senantiasa takut akan Tuhan dan beribadah hanya kepada-Nya (Yos. 24:14). Ini sangat berlawanan dengan berhala-berhala yang disembah oleh bangsa-bangsa di sekeliling mereka. Segala berhala itu terbuat dari logam dan hanyalah buatan tangan manusia (Mzm. 115:4). Berhala-berhala itu sama sekali tak berdaya jika dibandingkan dengan Tuhan. Oleh karena itu, umat Allah dinasihati untuk menerima keselamatan dalam Allah dan bukan dalam berhala mana pun (Hak. 10:13-16). Yesus menekankan kembali hal itu dalam pembahasan-Nya mengenai hukum yang terutama: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Mat. 22:37).
Hanya Tuhanlah penolong dan perisai kita (Mzm. 115:9). Kiranya kita beribadah hanya kepada-Nya. —MLW
Martin Lindstrom, seorang penulis dan pembicara, beranggapan bahwa telepon seluler (ponsel) tampaknya telah menjadi seperti sahabat baik bagi para pemiliknya. Lindstrom menjelaskan pernyataannya itu lewat penelitian yang diterapkannya dengan menggunakan teknik MRI (Pencitraan Resonansi Magnetik). Ketika subjek penelitian melihat atau mendengar ponselnya berdering, otak mereka memancarkan sel-sel saraf di area yang berkaitan dengan rasa cinta dan belas kasih. Lindstrom berkata, “Seolah-olah mereka sedang berada bersama seorang kekasih atau anggota keluarga mereka.”
Banyak hal yang bersaing untuk merebut rasa sayang, waktu, dan perhatian kita, dan tampaknya kita harus selalu meninjau ulang hal-hal yang telah menjadi pusat perhatian dalam hidup kita. Yosua memerintahkan bangsa Israel untuk senantiasa takut akan Tuhan dan beribadah hanya kepada-Nya (Yos. 24:14). Ini sangat berlawanan dengan berhala-berhala yang disembah oleh bangsa-bangsa di sekeliling mereka. Segala berhala itu terbuat dari logam dan hanyalah buatan tangan manusia (Mzm. 115:4). Berhala-berhala itu sama sekali tak berdaya jika dibandingkan dengan Tuhan. Oleh karena itu, umat Allah dinasihati untuk menerima keselamatan dalam Allah dan bukan dalam berhala mana pun (Hak. 10:13-16). Yesus menekankan kembali hal itu dalam pembahasan-Nya mengenai hukum yang terutama: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Mat. 22:37).
Hanya Tuhanlah penolong dan perisai kita (Mzm. 115:9). Kiranya kita beribadah hanya kepada-Nya. —MLW
UNTUK DIRENUNGKAN Lewat tindakan-tindakan kita beberapa bulan terakhir ini, apa atau
siapa yang menerima ungkapan kasih kita? Adakah tanda-tanda
bahwa kita telah menempatkan seseorang atau sesuatu di atas Allah?
Hanya Allah yang paling layak menerima ungkapan kasih kita.
Hanya Allah yang paling layak menerima ungkapan kasih kita.
Wednesday, March 19, 2014
Surga Bersukacita!
Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat. —Lukas 15:10
Joann dibesarkan dalam suatu keluarga Kristen. Namun ketika kuliah, ia mulai mempertanyakan keyakinannya dan akhirnya menjauh dari Allah. Setelah lulus kuliah, ia bepergian ke sejumlah negara dengan niat untuk mencari kebahagiaan, tetapi ternyata kepuasan tidak juga ia temukan. Lewat kesulitan demi kesulitan yang dialaminya, ia menyadari bahwa Allah sedang mengejar dirinya dan ia memang membutuhkan Allah.
Dari Jerman, Joann menelepon orangtuanya di Amerika Serikat dan berkata, “Aku telah menyerahkan hidupku kepada Kristus, dan Dia sedang mengubah hidupku! Maafkan aku kalau selama ini aku membuat kalian khawatir.” Orangtua Joann begitu gembira sehingga mereka mengundang anak-anak yang lain beserta pasangan mereka untuk berkumpul dengan segera agar berita tersebut dapat disampaikan langsung kepada mereka. “Saudara kalian telah menerima Kristus!” ucap mereka, sambil menitikkan air mata tanda sukacita.
Dalam Lukas 15, seorang wanita yang menemukan kembali dirham miliknya memanggil para sahabat dan tetangganya untuk bersukacita bersamanya (ay.9). Yesus menceritakan kisah itu, dan kisah-kisah mengenai seekor domba yang hilang dan seorang anak yang hilang, kepada para pemuka agama di masa-Nya untuk menunjukkan bagaimana Dia datang ke dunia untuk mencari manusia berdosa yang terhilang. Ketika kita menerima anugerah keselamatan dari Allah, ada sukacita di bumi dan di surga. Yesus berkata, “Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat” (ay.10). Betapa indahnya ketika Yesus menjangkau kita dan surga bersukacita ketika kita menanggapinya! —AMC
Joann dibesarkan dalam suatu keluarga Kristen. Namun ketika kuliah, ia mulai mempertanyakan keyakinannya dan akhirnya menjauh dari Allah. Setelah lulus kuliah, ia bepergian ke sejumlah negara dengan niat untuk mencari kebahagiaan, tetapi ternyata kepuasan tidak juga ia temukan. Lewat kesulitan demi kesulitan yang dialaminya, ia menyadari bahwa Allah sedang mengejar dirinya dan ia memang membutuhkan Allah.
Dari Jerman, Joann menelepon orangtuanya di Amerika Serikat dan berkata, “Aku telah menyerahkan hidupku kepada Kristus, dan Dia sedang mengubah hidupku! Maafkan aku kalau selama ini aku membuat kalian khawatir.” Orangtua Joann begitu gembira sehingga mereka mengundang anak-anak yang lain beserta pasangan mereka untuk berkumpul dengan segera agar berita tersebut dapat disampaikan langsung kepada mereka. “Saudara kalian telah menerima Kristus!” ucap mereka, sambil menitikkan air mata tanda sukacita.
Dalam Lukas 15, seorang wanita yang menemukan kembali dirham miliknya memanggil para sahabat dan tetangganya untuk bersukacita bersamanya (ay.9). Yesus menceritakan kisah itu, dan kisah-kisah mengenai seekor domba yang hilang dan seorang anak yang hilang, kepada para pemuka agama di masa-Nya untuk menunjukkan bagaimana Dia datang ke dunia untuk mencari manusia berdosa yang terhilang. Ketika kita menerima anugerah keselamatan dari Allah, ada sukacita di bumi dan di surga. Yesus berkata, “Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat” (ay.10). Betapa indahnya ketika Yesus menjangkau kita dan surga bersukacita ketika kita menanggapinya! —AMC
Ku terhilang, Yesus temukanku—
Temukanku domba yang tersesat,
Dekapku dengan tangan kasih-Nya,
Bawaku kembali ke jalan-Nya. —Rowley
Para malaikat bersukacita ketika kita bertobat.
Tuesday, March 18, 2014
Bau Yang Harum
Cerita & Ilustrasi komik strip oleh Heri Kurniawan
Bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. —2 Korintus 2:15
Ada sejumlah aroma yang tidak akan bisa dilupakan. Baru-baru ini, suami saya mengatakan bahwa ia hampir kehabisan krim cukur. “Aku bisa membelikannya untukmu,” saya menawarkan diri. “Bisakah kau membelikan merek ini?” tanyanya sambil memperlihatkan kaleng krim cukurnya. “Aku suka aromanya—merek ini yang selalu dipakai ayahku.” Saya tersenyum, teringat suatu waktu ketika pikiran saya sejenak kembali ke masa kecil pada saat menghirup aroma sampo yang sering dipakai ibu untuk mencuci rambut saya. Bagi saya dan Tom, aroma wangi itu membawa gejolak emosional dan kenangan manis tentang orang-orang terkasih yang telah tiada.
Oliver Wendell Holmes berkata, “Segala kenangan, khayalan, perasaan nostalgia, dan keterikatan lebih mudah tergapai kembali melalui indra penciuman dibandingkan melalui indra lainnya.”
Jadi, apa yang akan terjadi ketika hidup kita menjadi bau harum yang menarik orang-orang kepada Allah? Dalam 2 Korintus 2:15 dituliskan, “Bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa.” Bau keharuman kita itu menyenangkan Allah, tetapi bau itu juga dapat menarik orang lain kepada Allah atau justru menjauhkan mereka dari-Nya. Kita yang memahami arti pengorbanan Yesus mendapatkan kesempatan untuk menjadi “bau yang harum dari Kristus”–sebuah pengingat akan Dia–bagi orang lain.
Bau yang harum dari keserupaan kita dengan Kristus dapat memikat sesama kepada Sang Juruselamat. —CHK
Tanganku kerja bagi-Nya,
Kakiku mengikut-Nya;
Mataku memandang Yesus;
Yang kupuji Dialah! —James
(Kidung Jemaat, No. 363)
Ketika kita berjalan bersama Allah, bau harum yang kita pancarkan bisa menarik orang lain untuk ikut percaya.
Monday, March 17, 2014
Memandang Dari Awan-Awan
Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. —Ayub 42:5
Pada tahun 1927, film bisu Wings (Sayap), yang mengisahkan dua penerbang asal Amerika dalam Perang Dunia I, memenangi Academy Award yang pertama dalam kategori Film Terbaik. Proses pembuatan film itu sempat terhenti beberapa hari. Para produser yang frustrasi menanyakan alasan penghentian itu kepada sang sutradara. Jawabnya: “Yang kita lihat sekarang hanyalah hamparan langit biru. Perang di udara tidak akan terlihat jelas tanpa adanya awan. Awan akan memberikan sudut pandang yang jelas.” Sang sutradara benar. Ketika adegan pertempuran udara itu dilatarbelakangi oleh awan-awan, barulah penonton bisa menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi.
Mungkin kita lebih sering mengharapkan langit biru daripada awan badai. Padahal langit berawan dapat mengungkapkan kasih setia Allah. Saat kita melihat awan-awan itu, kita dapat melihat dengan jelas kesetiaan Allah kepada kita di tengah beragam pencobaan yang kita hadapi.
Di awal penderitaannya yang besar, Ayub meratap: “Biarlah hilang lenyap hari kelahiranku . . . . awan-gemawan menudunginya” (Ayb. 3:3-5). Keputusasaannya terus berlanjut untuk suatu masa yang panjang, hingga kemudian Allah berbicara. Saat itulah Ayub berseru, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (42:5). Ayub telah berjumpa dengan Sang Pencipta yang Mahakuasa, dan perjumpaan itu mengubah pandangannya terhadap maksud-maksud Allah.
Apakah awan kesulitan sedang menghiasi langit hidupmu hari ini? Bisa jadi Allah akan memakai awan-awan itu untuk menolongmu melihat kasih setia-Nya dengan jelas. —HDF
Pada tahun 1927, film bisu Wings (Sayap), yang mengisahkan dua penerbang asal Amerika dalam Perang Dunia I, memenangi Academy Award yang pertama dalam kategori Film Terbaik. Proses pembuatan film itu sempat terhenti beberapa hari. Para produser yang frustrasi menanyakan alasan penghentian itu kepada sang sutradara. Jawabnya: “Yang kita lihat sekarang hanyalah hamparan langit biru. Perang di udara tidak akan terlihat jelas tanpa adanya awan. Awan akan memberikan sudut pandang yang jelas.” Sang sutradara benar. Ketika adegan pertempuran udara itu dilatarbelakangi oleh awan-awan, barulah penonton bisa menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi.
Mungkin kita lebih sering mengharapkan langit biru daripada awan badai. Padahal langit berawan dapat mengungkapkan kasih setia Allah. Saat kita melihat awan-awan itu, kita dapat melihat dengan jelas kesetiaan Allah kepada kita di tengah beragam pencobaan yang kita hadapi.
Di awal penderitaannya yang besar, Ayub meratap: “Biarlah hilang lenyap hari kelahiranku . . . . awan-gemawan menudunginya” (Ayb. 3:3-5). Keputusasaannya terus berlanjut untuk suatu masa yang panjang, hingga kemudian Allah berbicara. Saat itulah Ayub berseru, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (42:5). Ayub telah berjumpa dengan Sang Pencipta yang Mahakuasa, dan perjumpaan itu mengubah pandangannya terhadap maksud-maksud Allah.
Apakah awan kesulitan sedang menghiasi langit hidupmu hari ini? Bisa jadi Allah akan memakai awan-awan itu untuk menolongmu melihat kasih setia-Nya dengan jelas. —HDF
Allah, beri kami sayap untuk terbang tinggi
Mengatasi awan ujian yang menghalangi mentari,
Melayang tinggi di angkasa kelabu
Dan melihat kasih dan kebaikan Putra-Mu. —Sper
Sering kali di balik awan dukacita tersingkap sinar wajah Allah yang cemerlang. —Jasper
Sunday, March 16, 2014
Makanan Bagi Jiwa
Apabila aku bertemu perkataan-perkataan-Mu, maka aku menikmatinya. —Yeremia 15:16
Saya menyukai makanan! Saya suka melihat makanan yang disajikan dengan menarik, dan saya suka mencicipi rasanya. Jika saya diberi kebebasan, bisa jadi saya akan makan terus-terusan—sayangnya, hal itu akan membuat lingkar pinggang saya semakin melebar! Jadi, untunglah istri saya, Martie, tahu betul kapan harus mengingatkan saya dengan penuh kasih untuk menyantap makanan sehat dalam kadar yang tepat.
Membaca pemikiran Yeremia yang menarik–yaitu pada saat ia bertemu dengan perkataan-perkataan Allah (bahkan firman yang berisi penghakiman-Nya) dan ia “menikmatinya” (Yer. 15:16)–membuat saya bertanya-tanya apakah saya telah menyantap firman Allah dengan sedemikian lahap, sedemikian sering, dan bersemangat.
Tentu saja, Yeremia tidak benar-benar menyantap firman Allah. Itu adalah caranya untuk menyatakan bahwa ia membaca sekaligus menghayati firman Allah di lubuk hatinya yang terdalam. Memang di situlah seharusnya firman Allah diterima. Firman Allah merupakan makanan bagi jiwa! Ketika kita menyantapnya, Roh Kudus memberikan kuasa untuk menolong kita bertumbuh menjadi semakin serupa dengan Yesus. Firman-Nya mengubah cara kita berpikir mengenai Allah, uang, musuh, karier, dan keluarga. Dengan kata lain, firman Allah itu sungguh baik bagi kita.
Jadi “nikmatilah” firman Allah sepuas hatimu! Pastilah kamu akan sepakat dengan Yeremia yang berkata: “Firman-Mu itu menjadi kegirangan bagiku, dan menjadi kesukaan hatiku” (15:16). —JMS
Saya menyukai makanan! Saya suka melihat makanan yang disajikan dengan menarik, dan saya suka mencicipi rasanya. Jika saya diberi kebebasan, bisa jadi saya akan makan terus-terusan—sayangnya, hal itu akan membuat lingkar pinggang saya semakin melebar! Jadi, untunglah istri saya, Martie, tahu betul kapan harus mengingatkan saya dengan penuh kasih untuk menyantap makanan sehat dalam kadar yang tepat.
Membaca pemikiran Yeremia yang menarik–yaitu pada saat ia bertemu dengan perkataan-perkataan Allah (bahkan firman yang berisi penghakiman-Nya) dan ia “menikmatinya” (Yer. 15:16)–membuat saya bertanya-tanya apakah saya telah menyantap firman Allah dengan sedemikian lahap, sedemikian sering, dan bersemangat.
Tentu saja, Yeremia tidak benar-benar menyantap firman Allah. Itu adalah caranya untuk menyatakan bahwa ia membaca sekaligus menghayati firman Allah di lubuk hatinya yang terdalam. Memang di situlah seharusnya firman Allah diterima. Firman Allah merupakan makanan bagi jiwa! Ketika kita menyantapnya, Roh Kudus memberikan kuasa untuk menolong kita bertumbuh menjadi semakin serupa dengan Yesus. Firman-Nya mengubah cara kita berpikir mengenai Allah, uang, musuh, karier, dan keluarga. Dengan kata lain, firman Allah itu sungguh baik bagi kita.
Jadi “nikmatilah” firman Allah sepuas hatimu! Pastilah kamu akan sepakat dengan Yeremia yang berkata: “Firman-Mu itu menjadi kegirangan bagiku, dan menjadi kesukaan hatiku” (15:16). —JMS
Tuhan, bangkitkan rasa laparku akan firman-Mu. Terima kasih atas
Alkitab yang menjadi makanan bagi jiwaku. Pimpin aku untuk
membacanya, menikmatinya, menyantapnya, dan menyadari kuasa
yang bisa diberikan firman-Mu bagi hatiku yang kurang percaya.
Semakin banyak kamu menyantap firman Allah, semakin sehat jiwamu.
Saturday, March 15, 2014
Jabatan Pekerjaan
Untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman. —Efesus 4:12-13
Ketika British Broadcasting Corporation meminta contoh-contoh dari jabatan pekerjaan yang terdengar penting, tetapi asing, bahkan aneh di telinga, seseorang menyebutkan nama jabatan yang disandangnya: Teknisi Benda Keramik di Bawah Air. Sebenarnya pekerjaan yang dilakukannya adalah menjadi seorang tukang cuci piring di sebuah rumah makan. Terkadang jabatan diberikan dalam suatu pekerjaan untuk membuat pekerjaan itu terdengar lebih penting daripada kenyataan yang sebenarnya.
Ketika Paulus membuat daftar yang berisi sejumlah karunia yang Allah berikan bagi gereja dalam Efesus 4:11, ia tidak bermaksud membuat semua itu menjadi jabatan-jabatan yang terdengar hebat. Seluruh bagian yang ada dibutuhkan agar tubuh Kristus dapat berfungsi dengan baik. Tidak ada satu bagian yang lebih baik daripada bagian lainnya.
Yang terpenting di sini adalah tujuan dari karunia-karunia itu. Semua karunia itu diberikan “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai . . . tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (ay.12-13).
Jabatan yang kita sandang tidaklah terlalu penting. Yang penting adalah kita menguatkan iman umat Allah. Saat mengukur keberhasilan kita berdasarkan standar yang diberikan Alkitab kepada kita, maka bukanlah masalah ketika kita pindah posisi atau tidak lagi menduduki jabatan tertentu. Didorong oleh kasih kepada Allah, kita melayani saudara-saudara seiman untuk meneguhkan iman mereka, dan membiarkan Allah yang memberikan pujian-Nya kelak di surga sesuai dengan penilaian-Nya sendiri (Mat. 25:21). —CPH
Ketika British Broadcasting Corporation meminta contoh-contoh dari jabatan pekerjaan yang terdengar penting, tetapi asing, bahkan aneh di telinga, seseorang menyebutkan nama jabatan yang disandangnya: Teknisi Benda Keramik di Bawah Air. Sebenarnya pekerjaan yang dilakukannya adalah menjadi seorang tukang cuci piring di sebuah rumah makan. Terkadang jabatan diberikan dalam suatu pekerjaan untuk membuat pekerjaan itu terdengar lebih penting daripada kenyataan yang sebenarnya.
Ketika Paulus membuat daftar yang berisi sejumlah karunia yang Allah berikan bagi gereja dalam Efesus 4:11, ia tidak bermaksud membuat semua itu menjadi jabatan-jabatan yang terdengar hebat. Seluruh bagian yang ada dibutuhkan agar tubuh Kristus dapat berfungsi dengan baik. Tidak ada satu bagian yang lebih baik daripada bagian lainnya.
Yang terpenting di sini adalah tujuan dari karunia-karunia itu. Semua karunia itu diberikan “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai . . . tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (ay.12-13).
Jabatan yang kita sandang tidaklah terlalu penting. Yang penting adalah kita menguatkan iman umat Allah. Saat mengukur keberhasilan kita berdasarkan standar yang diberikan Alkitab kepada kita, maka bukanlah masalah ketika kita pindah posisi atau tidak lagi menduduki jabatan tertentu. Didorong oleh kasih kepada Allah, kita melayani saudara-saudara seiman untuk meneguhkan iman mereka, dan membiarkan Allah yang memberikan pujian-Nya kelak di surga sesuai dengan penilaian-Nya sendiri (Mat. 25:21). —CPH
Aku memohon, ya Tuhan, pakailah aku sebagai alat-Mu
untuk menyentuh hidup orang lain. Tolonglah aku untuk
tidak mementingkan jabatan yang kududuki, tetapi biarlah
hidupku bisa memancarkan anugerah-Mu kepada sesama.
Karunia yang Allah berikan kepada kita bukanlah demi kepentingan kita, melainkan demi kepentingan sesama.
Friday, March 14, 2014
Dipikat Pencobaan
Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu. —Mazmur 119:10
Salah satu lagu himne favorit saya adalah Come, Thou Fount of Every Blessing (Datanglah, Ya Sumber Rahmat), yang ditulis tahun 1757 oleh Robert Robinson ketika masih berusia 22 tahun. Dalam lirik himne tersebut, ada satu baris yang selalu menyita perhatian saya dan mendesak saya untuk melakukan evaluasi diri. Baris itu berbunyi, “‘Ku dipikat pencobaan, meninggalkan kasih- Mu.” Terkadang saya merasa demikian juga. Terlampau sering saya mendapati diri terpikat dan menyimpang, padahal hati dan pikiran saya seharusnya terpusat kepada Sang Juruselamat yang mengasihi dan telah memberikan nyawa-Nya untuk saya. Tentu bukan hanya saya dan Robert Robinson yang merasakan hal seperti itu.
Dalam masa-masa kita tersesat, dari lubuk hati yang terdalam, kita sebenarnya tidak ingin menyimpang dari Allah—tetapi, seperti halnya Rasul Paulus, kita sering melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak kita kehendaki (Rm. 7:19). Pada saat-saat itulah, kita benar-benar harus kembali kepada Gembala jiwa yang dapat menarik kita kepada-Nya. Dalam Mazmur 119, nyanyian akbar Daud tentang Kitab Suci, ia menuliskan pergumulannya, “Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu” (ay.10).
Adakalanya, bahkan saat hati kita rindu untuk mencari Allah, kita terpikat oleh hal-hal dalam hidup ini yang menarik kita menjauh dari Dia dan firman-Nya. Betapa bersyukurnya kita untuk Bapa Surgawi yang begitu sabar dan penuh belas kasihan. Kasih karunia-Nya selalu cukup bagi kita–bahkan saat kita dipikat pencobaan! —WEC
Salah satu lagu himne favorit saya adalah Come, Thou Fount of Every Blessing (Datanglah, Ya Sumber Rahmat), yang ditulis tahun 1757 oleh Robert Robinson ketika masih berusia 22 tahun. Dalam lirik himne tersebut, ada satu baris yang selalu menyita perhatian saya dan mendesak saya untuk melakukan evaluasi diri. Baris itu berbunyi, “‘Ku dipikat pencobaan, meninggalkan kasih- Mu.” Terkadang saya merasa demikian juga. Terlampau sering saya mendapati diri terpikat dan menyimpang, padahal hati dan pikiran saya seharusnya terpusat kepada Sang Juruselamat yang mengasihi dan telah memberikan nyawa-Nya untuk saya. Tentu bukan hanya saya dan Robert Robinson yang merasakan hal seperti itu.
Dalam masa-masa kita tersesat, dari lubuk hati yang terdalam, kita sebenarnya tidak ingin menyimpang dari Allah—tetapi, seperti halnya Rasul Paulus, kita sering melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak kita kehendaki (Rm. 7:19). Pada saat-saat itulah, kita benar-benar harus kembali kepada Gembala jiwa yang dapat menarik kita kepada-Nya. Dalam Mazmur 119, nyanyian akbar Daud tentang Kitab Suci, ia menuliskan pergumulannya, “Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu” (ay.10).
Adakalanya, bahkan saat hati kita rindu untuk mencari Allah, kita terpikat oleh hal-hal dalam hidup ini yang menarik kita menjauh dari Dia dan firman-Nya. Betapa bersyukurnya kita untuk Bapa Surgawi yang begitu sabar dan penuh belas kasihan. Kasih karunia-Nya selalu cukup bagi kita–bahkan saat kita dipikat pencobaan! —WEC
‘Ku dipikat pencobaan,
Meninggalkan kasih-Mu;
Inilah hatiku, Tuhan,
Meteraikan bagi-Mu! —Robinson
(Kidung Jemaat, No. 240)
Kecenderungan kita untuk dipikat pencobaan sebanding dengan kerelaan Allah untuk menarik kita kembali.
Thursday, March 13, 2014
Hilang Daya
Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya. —Yesaya 40:29
Pada akhir Oktober 2012, sebuah badai dahsyat yang diakibatkan oleh angin topan menerjang kawasan padat penduduk di wilayah timur laut Amerika Serikat. Badai tersebut mengakibatkan banjir besar dan kerusakan hebat di jalur yang dilaluinya. Selama badai berlangsung, lebih dari 8 juta pelanggan mengalami pemadaman listrik. Padamnya listrik menyebabkan kekurangan persediaan makanan, bahan bakar, dan air, serta terjadinya kekacauan karena berhentinya arus lalu lintas. Angin yang menderu dan air yang menggelora menyebabkan banyak daerah pemukiman hancur, kebanjiran dan tertimbun pasir yang bergunung-gunung. Media memberi tajuk terhadap bencana itu: “Jutaan Orang Kehilangan Daya”.
Seperti badai tadi, tragedi yang kita alami sendiri sering membuat kita merasa tidak berdaya dan berada dalam kekelaman. Dalam masa-masa itulah, firman Allah menjamin pertolongan-Nya bagi kita: “Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya” (Yes. 40:29).
Pada titik terendah kita, saat kekuatan jiwa kita begitu terkuras, kita dapat menaruh pengharapan kita dalam Tuhan dan memperoleh kekuatan baru di dalam Dia. Dia berjanji kepada kita bahwa dari hari ke hari, “orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (ay.31).
Allah adalah sumber kekuatan rohani kita di tengah setiap badai kehidupan. —DCM
Pada akhir Oktober 2012, sebuah badai dahsyat yang diakibatkan oleh angin topan menerjang kawasan padat penduduk di wilayah timur laut Amerika Serikat. Badai tersebut mengakibatkan banjir besar dan kerusakan hebat di jalur yang dilaluinya. Selama badai berlangsung, lebih dari 8 juta pelanggan mengalami pemadaman listrik. Padamnya listrik menyebabkan kekurangan persediaan makanan, bahan bakar, dan air, serta terjadinya kekacauan karena berhentinya arus lalu lintas. Angin yang menderu dan air yang menggelora menyebabkan banyak daerah pemukiman hancur, kebanjiran dan tertimbun pasir yang bergunung-gunung. Media memberi tajuk terhadap bencana itu: “Jutaan Orang Kehilangan Daya”.
Seperti badai tadi, tragedi yang kita alami sendiri sering membuat kita merasa tidak berdaya dan berada dalam kekelaman. Dalam masa-masa itulah, firman Allah menjamin pertolongan-Nya bagi kita: “Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya” (Yes. 40:29).
Pada titik terendah kita, saat kekuatan jiwa kita begitu terkuras, kita dapat menaruh pengharapan kita dalam Tuhan dan memperoleh kekuatan baru di dalam Dia. Dia berjanji kepada kita bahwa dari hari ke hari, “orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (ay.31).
Allah adalah sumber kekuatan rohani kita di tengah setiap badai kehidupan. —DCM
Kau, Allah, benteng yang baka,
Suaka yang teguh,
Dahulu dan selamanya
Harapan umat-Mu. —Watts
(Kidung Jemaat, No. 330)
Melalui badai, terbuktilah kekuatan yang sesungguhnya dari tempat perlindungan kita.
Wednesday, March 12, 2014
Kaidah Kencana
Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. —Matius 7:12
Konsep Kaidah Kencana—memperlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan—muncul dalam banyak agama. Jika demikian, apa yang membuat ucapan versi Yesus itu menjadi begitu istimewa?
Keunikannya terletak pada alasan dari kaidah itu—alasan yang menunjukkan betapa murah hatinya Bapa kita di surga. Inilah yang Yesus katakan: “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya. Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 7:11-12).
Kita semua gagal melakukan yang seharusnya kita perbuat: Kita tidak mengasihi sesama sebagaimana Allah telah mengasihi kita. Yesus telah menghidupi kaidah etiket yang mengagumkan itu dengan kasih sempurna melalui kehidupan dan kematian-Nya atas segala dosa kita.
Kita mempunyai Bapa Maha Pengasih dan Pemurah yang mengesampingkan kepentingan-Nya sendiri demi mencurahkan kasih-Nya dengan agung melalui Putra-Nya Yesus. Kemurahan hati Allah menggerakkan kita untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Kita mengasihi dan memberi kepada sesama karena Dia telah lebih dahulu mengasihi kita (1Yoh. 4:19).
Bapa Surgawi memang menghendaki kita untuk melakukan perintah-perintah-Nya, tetapi Dia juga memampukan kita melakukannya oleh kuasa dan kasih yang dilimpahkan-Nya. Yang perlu kita perbuat hanyalah meminta hal itu dari-Nya. —DHR
Konsep Kaidah Kencana—memperlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan—muncul dalam banyak agama. Jika demikian, apa yang membuat ucapan versi Yesus itu menjadi begitu istimewa?
Keunikannya terletak pada alasan dari kaidah itu—alasan yang menunjukkan betapa murah hatinya Bapa kita di surga. Inilah yang Yesus katakan: “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya. Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 7:11-12).
Kita semua gagal melakukan yang seharusnya kita perbuat: Kita tidak mengasihi sesama sebagaimana Allah telah mengasihi kita. Yesus telah menghidupi kaidah etiket yang mengagumkan itu dengan kasih sempurna melalui kehidupan dan kematian-Nya atas segala dosa kita.
Kita mempunyai Bapa Maha Pengasih dan Pemurah yang mengesampingkan kepentingan-Nya sendiri demi mencurahkan kasih-Nya dengan agung melalui Putra-Nya Yesus. Kemurahan hati Allah menggerakkan kita untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Kita mengasihi dan memberi kepada sesama karena Dia telah lebih dahulu mengasihi kita (1Yoh. 4:19).
Bapa Surgawi memang menghendaki kita untuk melakukan perintah-perintah-Nya, tetapi Dia juga memampukan kita melakukannya oleh kuasa dan kasih yang dilimpahkan-Nya. Yang perlu kita perbuat hanyalah meminta hal itu dari-Nya. —DHR
Bapa Surgawi, aku memang masih kurang dalam hal kesabaran,
pengampunan, dan belas kasih. Aku mohon, tunjukkanlah pada
hari ini kasih sempurna-Mu melalui diriku lewat cara-cara yang
sederhana. Dalam nama Yesus Putra-Mu, aku berdoa.
Kita telah menghafal Kaidah Kencana; marilah sekarang kita menerapkannya dalam hidup. —E. Markham
Tuesday, March 11, 2014
Ucapan Yang Terkendali
Cerita & Ilustrasi komik strip oleh Heri Kurniawan
Buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai. —Yakobus 3:18
Mantan Presiden AS Harry Truman mempunyai aturan: Setiap surat yang ditulisnya dengan perasaan marah harus ditaruh di atas mejanya selama 24 jam sebelum dikirim. Jika setelah masa “menenangkan diri” itu usai dan ia masih memendam rasa marah tersebut, ia akan mengirimkan surat itu. Ternyata pada akhir hidupnya, sebuah laci besar pada meja Truman penuh berisi surat yang tak terkirim.
Dalam zaman komunikasi serba cepat dewasa ini, ada banyak peristiwa memalukan yang sebenarnya bisa kita hindari seandainya kita dapat mengendalikan diri selama 24 menit saja! Dalam suratnya, Yakobus berbicara tentang kerusakan yang dapat disebabkan oleh suatu hal yang terus-menerus menjadi pergumulan di sepanjang sejarah umat manusia, yaitu lidah yang tidak terkendali. Ia menulis, “Tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan” (3:8).
Ketika kita bergosip atau berbicara dengan penuh kemarahan, kita sedang berjalan di luar kehendak Allah. Kita perlu lebih menahan diri dalam perkataan yang kita ucapkan, ketik, atau tuliskan, sembari mengucap syukur dalam hati untuk penguasaan diri yang Allah mampukan. Sayangnya, kita lebih sering menunjukkan kebobrokan kita sebagai manusia kepada orang-orang yang mendengar ucapan kita.
Jika ingin memperlihatkan sikap diri yang telah diubahkan Kristus, mungkin yang perlu kita lakukan hanyalah mengendalikan lidah dan ucapan kita. Orang lain pasti akan memperhatikan ketika kita memuliakan Allah lewat perkataan yang kita ucapkan—atau yang tidak kita ucapkan. —RKK
Tolonglah aku, ya Tuhan, supaya perkataanku tidak kugunakan untuk
menjatuhkan orang lain atau membangun nama baikku sendiri,
tetapi supaya kugunakan untuk mengutamakan kebaikan orang lain,
sehingga dengan demikian aku melayani-Mu dan kerajaan-Mu.
Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran. —Amsal 21:23
Monday, March 10, 2014
Menjadi Milik Pribadi
Hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. —Galatia 5:16
Selama menjadi seorang guru dan pelatih olahraga di sebuah sekolah menengah Kristen, saya benar-benar menikmati pergaulan saya dengan para remaja. Saya pun berusaha menuntun mereka pada jalan hidup yang sesuai dengan kehendak Kristus—hidup yang ditandai dengan kasih kepada Allah dan sesama. Tujuan saya adalah mempersiapkan mereka untuk hidup bagi Allah di sepanjang hidup mereka. Hal itu hanya mungkin terjadi apabila mereka menjadikan iman sebagai bagian vital dari hidup mereka oleh pertolongan Roh Kudus. Mereka yang tidak setia mengikut Kristus akan mengalami kebimbangan setelah mereka tidak lagi di bawah asuhan guru-guru dan orangtua Kristen mereka.
Hal itu digambarkan dengan jelas dalam kisah Raja Yoas dari Yehuda dan pamannya Yoyada. Sebagai seorang penasihat yang bijak, Yoyada telah mendorong Yoas untuk menjalani kehidupan yang memuliakan Allah (2Taw. 24:11,14).
Yang menjadi masalah, Yoas tidak mengikuti jalan hidup yang mulia itu atas keinginannya sendiri. Setelah Yoyada mati, Raja Yoas “meninggalkan rumah TUHAN” (ay.18) dan mulai beribadah kepada patung-patung berhala. Ia pun berubah menjadi sangat jahat sehingga ia membunuh anak Yoyada (ay.20-22).
Mempunyai seseorang dalam hidup yang dapat menuntun kita pada pertumbuhan iman dan keserupaan dengan Kristus memang merupakan hal yang baik dan berguna. Alangkah lebih baik jika kita mengenal Tuhan secara pribadi dan belajar bergantung kepada Roh Kudus sebagai penuntun kita (Gal. 5:16). Itulah yang disebut menjadikan iman sebagai milik kita pribadi. —JDB
Selama menjadi seorang guru dan pelatih olahraga di sebuah sekolah menengah Kristen, saya benar-benar menikmati pergaulan saya dengan para remaja. Saya pun berusaha menuntun mereka pada jalan hidup yang sesuai dengan kehendak Kristus—hidup yang ditandai dengan kasih kepada Allah dan sesama. Tujuan saya adalah mempersiapkan mereka untuk hidup bagi Allah di sepanjang hidup mereka. Hal itu hanya mungkin terjadi apabila mereka menjadikan iman sebagai bagian vital dari hidup mereka oleh pertolongan Roh Kudus. Mereka yang tidak setia mengikut Kristus akan mengalami kebimbangan setelah mereka tidak lagi di bawah asuhan guru-guru dan orangtua Kristen mereka.
Hal itu digambarkan dengan jelas dalam kisah Raja Yoas dari Yehuda dan pamannya Yoyada. Sebagai seorang penasihat yang bijak, Yoyada telah mendorong Yoas untuk menjalani kehidupan yang memuliakan Allah (2Taw. 24:11,14).
Yang menjadi masalah, Yoas tidak mengikuti jalan hidup yang mulia itu atas keinginannya sendiri. Setelah Yoyada mati, Raja Yoas “meninggalkan rumah TUHAN” (ay.18) dan mulai beribadah kepada patung-patung berhala. Ia pun berubah menjadi sangat jahat sehingga ia membunuh anak Yoyada (ay.20-22).
Mempunyai seseorang dalam hidup yang dapat menuntun kita pada pertumbuhan iman dan keserupaan dengan Kristus memang merupakan hal yang baik dan berguna. Alangkah lebih baik jika kita mengenal Tuhan secara pribadi dan belajar bergantung kepada Roh Kudus sebagai penuntun kita (Gal. 5:16). Itulah yang disebut menjadikan iman sebagai milik kita pribadi. —JDB
Tuhan, terima kasih atas orang-orang dalam hidupku
yang telah mendorongku untuk mengikut Engkau. Tolonglah aku
untuk tidak bergantung kepada mereka sebagai yang terutama,
tetapi bergantung kepada Roh Kudus untuk menuntunku.
Iman orang lain dapat menguatkan kita, tetapi iman
yang diyakini secara pribadi akan mengubahkan kita.
Sunday, March 9, 2014
Niat Untuk Memperdaya
Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. —Matius 7:15
Saat mendaki pegunungan di Utah, Coty Creighton melihat seekor kambing yang tidak mirip kawanannya. Saat mengamati lebih dekat, baru terlihat bahwa binatang yang kelihatan janggal itu ternyata seorang manusia yang berpakaian mirip kambing. Saat ditanya oleh pihak berwenang, ia berkata bahwa ia memakai pakaian tukang cat yang dibalut bulu kambing itu guna menguji penyamarannya untuk suatu kegiatan berburu.
Muslihat pemburu itu mengingatkan saya akan perkataan Yesus, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas” (Mat. 7:15). Guru-guru palsu tidak akan menghasilkan buah Roh (Gal. 5:22-23). Sebaliknya, mereka “menuruti hawa nafsunya . . . dan yang menghina pemerintahan Allah” (2Ptr. 2:10). Mereka berani, egois, dan hatinya dipenuhi dengan keserakahan (ay.10,14). Dengan dikuasai oleh hasrat mereka sendiri, mereka memanfaatkan orang lain dengan menggunakan “ceritera-ceritera isapan jempol mereka” (ay.3). Alkitab berkata bahwa para pemimpin rohani yang sesat ini sedang menuju pada kebinasaan dan menjerumuskan banyak orang yang mudah tertipu dan tidak menaruh curiga (ay.1-2).
Yesus, Sang Gembala yang baik, tidak pernah mengejar keuntungan pribadi. Sebaliknya, Dia menyerahkan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya. Allah tidak menghendaki siapa pun disesatkan oleh pengajaran-pengajaran palsu. Dia menginginkan kita untuk waspada terhadap orang-orang yang berniat memperdaya kita, dan hanya mengikut Dia seorang—Gembala sejati bagi jiwa kita. —JBS
Saat mendaki pegunungan di Utah, Coty Creighton melihat seekor kambing yang tidak mirip kawanannya. Saat mengamati lebih dekat, baru terlihat bahwa binatang yang kelihatan janggal itu ternyata seorang manusia yang berpakaian mirip kambing. Saat ditanya oleh pihak berwenang, ia berkata bahwa ia memakai pakaian tukang cat yang dibalut bulu kambing itu guna menguji penyamarannya untuk suatu kegiatan berburu.
Muslihat pemburu itu mengingatkan saya akan perkataan Yesus, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas” (Mat. 7:15). Guru-guru palsu tidak akan menghasilkan buah Roh (Gal. 5:22-23). Sebaliknya, mereka “menuruti hawa nafsunya . . . dan yang menghina pemerintahan Allah” (2Ptr. 2:10). Mereka berani, egois, dan hatinya dipenuhi dengan keserakahan (ay.10,14). Dengan dikuasai oleh hasrat mereka sendiri, mereka memanfaatkan orang lain dengan menggunakan “ceritera-ceritera isapan jempol mereka” (ay.3). Alkitab berkata bahwa para pemimpin rohani yang sesat ini sedang menuju pada kebinasaan dan menjerumuskan banyak orang yang mudah tertipu dan tidak menaruh curiga (ay.1-2).
Yesus, Sang Gembala yang baik, tidak pernah mengejar keuntungan pribadi. Sebaliknya, Dia menyerahkan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya. Allah tidak menghendaki siapa pun disesatkan oleh pengajaran-pengajaran palsu. Dia menginginkan kita untuk waspada terhadap orang-orang yang berniat memperdaya kita, dan hanya mengikut Dia seorang—Gembala sejati bagi jiwa kita. —JBS
Dalam nama Yesus kita bertelut,
Dan mengakui-Nya Raja mulia.
Kita menyebut-Nya Tuhan semesta.
Dialah Sang Firman Allah yang hidup. —Noel
(Pelengkap Kidung Jemaat, No. 122)
Ada banyak guru palsu, tetapi hanya ada satu Kristus.
Saturday, March 8, 2014
Kuasa Yang Mengubahkan
Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan. —Ulangan 6:6
Banyak orang suka memainkan permainan yang menguji pengetahuan mereka. Baru-baru ini, saya dan seorang rekan kerja memainkan permainan yang menguji pengetahuan Alkitab. Karena kami duduk di suatu area terbuka di kantor, orang-orang yang berada di dekat kami bisa mendengar pembicaraan kami. Segera saja pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan—mulai dari bahtera Nuh sampai perempuan Samaria yang berada di tepi sumur—dijawab oleh mereka yang mendengar kami bermain. Sungguh menyenangkan bisa mendengar para staf secara bergantian menjawab pertanyaan demi pertanyaan tentang Alkitab.
Pengetahuan tentang Alkitab merupakan hal yang penting, tetapi Allah menghendaki supaya kita dipenuhi firman-Nya dan menghayati firman itu sehingga kita bisa bertumbuh dalam persekutuan kita dengan-Nya. Roh Kudus memakai firman Allah untuk menjadikan kita semakin serupa Kristus (Ef. 4:20-24). Pikirkanlah berkat-berkat berikut yang kita terima dari menghayati Alkitab: kegirangan dan kesukaan hati (Yer. 15:16); keberhasilan rohani (Yos. 1:8); suatu senjata dalam peperangan rohani (Mat. 4:1-11); teguran untuk memperbaiki kelakuan yang salah (2Tim. 3:15-16); terang bagi jalan kita (Mzm. 119:105); hikmat untuk penyelesaian masalah (Ams. 1:2-3); serta iman yang semakin teguh (Rm. 10:17).
Jika kita mempelajari Alkitab hanya untuk menambah pengetahuan, kita bisa terhanyut dalam kesombongan rohani (1Kor. 8:1). Namun jika kita mengizinkan Roh Kudus untuk mengubah kita melalui firman-Nya, kita akan dituntun melewati lika-liku hidup kita dan dimampukan untuk melayani Allah dan sesama dalam kasih. —HDF
Banyak orang suka memainkan permainan yang menguji pengetahuan mereka. Baru-baru ini, saya dan seorang rekan kerja memainkan permainan yang menguji pengetahuan Alkitab. Karena kami duduk di suatu area terbuka di kantor, orang-orang yang berada di dekat kami bisa mendengar pembicaraan kami. Segera saja pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan—mulai dari bahtera Nuh sampai perempuan Samaria yang berada di tepi sumur—dijawab oleh mereka yang mendengar kami bermain. Sungguh menyenangkan bisa mendengar para staf secara bergantian menjawab pertanyaan demi pertanyaan tentang Alkitab.
Pengetahuan tentang Alkitab merupakan hal yang penting, tetapi Allah menghendaki supaya kita dipenuhi firman-Nya dan menghayati firman itu sehingga kita bisa bertumbuh dalam persekutuan kita dengan-Nya. Roh Kudus memakai firman Allah untuk menjadikan kita semakin serupa Kristus (Ef. 4:20-24). Pikirkanlah berkat-berkat berikut yang kita terima dari menghayati Alkitab: kegirangan dan kesukaan hati (Yer. 15:16); keberhasilan rohani (Yos. 1:8); suatu senjata dalam peperangan rohani (Mat. 4:1-11); teguran untuk memperbaiki kelakuan yang salah (2Tim. 3:15-16); terang bagi jalan kita (Mzm. 119:105); hikmat untuk penyelesaian masalah (Ams. 1:2-3); serta iman yang semakin teguh (Rm. 10:17).
Jika kita mempelajari Alkitab hanya untuk menambah pengetahuan, kita bisa terhanyut dalam kesombongan rohani (1Kor. 8:1). Namun jika kita mengizinkan Roh Kudus untuk mengubah kita melalui firman-Nya, kita akan dituntun melewati lika-liku hidup kita dan dimampukan untuk melayani Allah dan sesama dalam kasih. —HDF
Laparku akan kebenaran dipuaskan-Nya;
Lewat firman, Roti Hidup, aku menikmati-Nya:
Tiada lagi kurasa dahaga, karena anugerah-Nya,
Oleh dalamnya kasih, aku dicukupkan-Nya. —Sanders
Banyak buku yang bisa memberikan informasi, tetapi hanya Alkitab yang bisa mengubahkan hidup.
Friday, March 7, 2014
Tidak Akan Salah Diterjemahkan
[Roh Kudus], sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus. —Roma 8:27
Selama bertahun-tahun ini, saya mendapat kesempatan berharga untuk mengajarkan Alkitab kepada banyak orang di berbagai tempat di dunia. Karena saya hanya bisa berbahasa Inggris, saya sering bekerja sama dengan para penerjemah yang dapat memahami ungkapan hati saya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh para pendengar di masing-masing negara. Terjalinnya komunikasi yang efektif sangat bergantung pada kemampuan setiap penerjemah ini. Baik itu Inawaty di Indonesia, Annie di Malaysia, atau Jean di Brasil, mereka memastikan bahwa maksud yang saya sampaikan lewat perkataan saya dapat diungkapkan dengan jelas.
Pekerjaan penerjemahan itu menyerupai satu aspek dari karya Roh Kudus dalam kehidupan umat Allah. Ketika kita berdoa, kita tidak selalu tahu bagaimana sebenarnya kita harus berdoa (Rm. 8:26), dan ayat 27 memberikan dorongan kepada kita, demikian, “Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus.” Ketika kita menghadap Bapa Surgawi dalam doa, Roh Kudus hadir sebagai penolong kita untuk menerjemahkan doa-doa kita sesuai dengan maksud-maksud Allah yang baik atas hidup kita.
Sungguh suatu pemberian yang luar biasa! Allah tidak hanya menghendaki kita untuk mengutarakan isi hati kita kepada-Nya, Dia juga memberikan kepada kita penerjemah yang terbaik untuk menolong saat kita berdoa. Kita dapat meyakini bahwa doa-doa kita tidak akan pernah salah diterjemahkan oleh Roh Kudus. —WEC
Selama bertahun-tahun ini, saya mendapat kesempatan berharga untuk mengajarkan Alkitab kepada banyak orang di berbagai tempat di dunia. Karena saya hanya bisa berbahasa Inggris, saya sering bekerja sama dengan para penerjemah yang dapat memahami ungkapan hati saya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh para pendengar di masing-masing negara. Terjalinnya komunikasi yang efektif sangat bergantung pada kemampuan setiap penerjemah ini. Baik itu Inawaty di Indonesia, Annie di Malaysia, atau Jean di Brasil, mereka memastikan bahwa maksud yang saya sampaikan lewat perkataan saya dapat diungkapkan dengan jelas.
Pekerjaan penerjemahan itu menyerupai satu aspek dari karya Roh Kudus dalam kehidupan umat Allah. Ketika kita berdoa, kita tidak selalu tahu bagaimana sebenarnya kita harus berdoa (Rm. 8:26), dan ayat 27 memberikan dorongan kepada kita, demikian, “Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus.” Ketika kita menghadap Bapa Surgawi dalam doa, Roh Kudus hadir sebagai penolong kita untuk menerjemahkan doa-doa kita sesuai dengan maksud-maksud Allah yang baik atas hidup kita.
Sungguh suatu pemberian yang luar biasa! Allah tidak hanya menghendaki kita untuk mengutarakan isi hati kita kepada-Nya, Dia juga memberikan kepada kita penerjemah yang terbaik untuk menolong saat kita berdoa. Kita dapat meyakini bahwa doa-doa kita tidak akan pernah salah diterjemahkan oleh Roh Kudus. —WEC
Terima kasih, Bapa, atas pemberian Roh-Mu. Aku bersyukur bahwa
saat berdoa aku diyakinkan akan pertolongan-Mu untuk membuat
doaku terucap sebagaimana seharusnya. Ajarlah aku bergantung
pada Roh-Mu agar aku mengerti kehendak-Mu dengan sempurna.
Keterlibatan Roh Kudus memberikan jaminan bahwa doa-doa kita akan selaras dengan maksud Allah
Thursday, March 6, 2014
Baa!
Tentulah Tuhan akan mengasihani engkau, apabila engkau berseru-seru; pada saat Ia mendengar teriakmu, Ia akan menjawab. —Yesaya 30:19
Salah satu permainan yang mula-mula dimainkan oleh banyak orangtua bersama anak adalah berpura-pura menakuti mereka. Ayah menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangan dan tiba-tiba memunculkan wajahnya sambil berkata, “Baa!” Si anak pun tertawa geli melihat kekonyolan ini.
Ditakut-takuti adalah permainan yang menyenangkan bagi si anak, tetapi suatu hari ia akan mengalami ketakutan sebenarnya yang tidak lagi bersifat main-main. Ketakutan pertama biasanya dialami saat ia merasa terpisah dari orangtua. Bisa saja si anak berjalan ke sana kemari karena terpikat pada hal-hal yang menarik hatinya. Namun segera setelah menyadari ia telah tersesat, ia mulai panik dan menangis dengan keras. Orangtuanya pun segera datang untuk meyakinkan anaknya itu bahwa ia tidak sendirian.
Setelah dewasa, ketakutan pura-pura kita berkembang menjadi lebih canggih—lewat cerita, film horor, atau wahana di taman hiburan. Rupanya merasakan ketakutan memberikan sensasi yang begitu menantang sehingga kita mulai mengambil risiko yang lebih besar demi sensasi yang lebih hebat.
Namun saat ketakutan yang sesungguhnya datang, kita mungkin tersadar bahwa kita, seperti bangsa Israel di zaman dahulu (Yes. 30), telah menyimpang dari Allah yang mengasihi dan memelihara kita. Saat menyadari bahwa kita dalam bahaya, kita pun panik. Seruan kita minta tolong tidak keluar dalam bentuk kata-kata yang rumit atau pembelaan diri yang tertata rapi; yang ada hanyalah seruan putus asa.
Layaknya orangtua yang penuh kasih, Allah akan menjawab kita dengan segera karena Dia rindu agar kita hidup dalam lindungan kasih-Nya. Dalam kasih-Nya, kita tidak perlu lagi merasa takut. —JAL
Salah satu permainan yang mula-mula dimainkan oleh banyak orangtua bersama anak adalah berpura-pura menakuti mereka. Ayah menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangan dan tiba-tiba memunculkan wajahnya sambil berkata, “Baa!” Si anak pun tertawa geli melihat kekonyolan ini.
Ditakut-takuti adalah permainan yang menyenangkan bagi si anak, tetapi suatu hari ia akan mengalami ketakutan sebenarnya yang tidak lagi bersifat main-main. Ketakutan pertama biasanya dialami saat ia merasa terpisah dari orangtua. Bisa saja si anak berjalan ke sana kemari karena terpikat pada hal-hal yang menarik hatinya. Namun segera setelah menyadari ia telah tersesat, ia mulai panik dan menangis dengan keras. Orangtuanya pun segera datang untuk meyakinkan anaknya itu bahwa ia tidak sendirian.
Setelah dewasa, ketakutan pura-pura kita berkembang menjadi lebih canggih—lewat cerita, film horor, atau wahana di taman hiburan. Rupanya merasakan ketakutan memberikan sensasi yang begitu menantang sehingga kita mulai mengambil risiko yang lebih besar demi sensasi yang lebih hebat.
Namun saat ketakutan yang sesungguhnya datang, kita mungkin tersadar bahwa kita, seperti bangsa Israel di zaman dahulu (Yes. 30), telah menyimpang dari Allah yang mengasihi dan memelihara kita. Saat menyadari bahwa kita dalam bahaya, kita pun panik. Seruan kita minta tolong tidak keluar dalam bentuk kata-kata yang rumit atau pembelaan diri yang tertata rapi; yang ada hanyalah seruan putus asa.
Layaknya orangtua yang penuh kasih, Allah akan menjawab kita dengan segera karena Dia rindu agar kita hidup dalam lindungan kasih-Nya. Dalam kasih-Nya, kita tidak perlu lagi merasa takut. —JAL
Aku tak pernah berjalan sendiri, Kristus besertaku;
Dialah Sahabat terbaik yang pernah kukenal;
Dengan Sahabat yang selalu menghibur dan menuntunku,
Aku tak pernah, tidak akan pernah, berjalan sendiri. —Ackley
Mempercayai kesetiaan Allah akan menolong kita menghalau ketakutan.
Wednesday, March 5, 2014
Aku Dan Ayah
TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. —Kejadian 2:15
Suatu waktu seorang teman meluangkan harinya untuk membuat pijakan dari batu-batu yang lebar di halaman belakang rumahnya. Ketika putrinya yang berusia 5 tahun berniat untuk membantu, ia meminta putrinya itu bernyanyi saja untuk memberinya semangat. Putrinya tidak mau, karena ia ingin membantu ayahnya. Dengan hati-hati, ketika keadaannya tidak membahayakan, teman saya membiarkan putrinya menaruh tangannya pada batu-batu itu saat ia menaruhnya.
Teman saya bisa saja menuntaskan pekerjaannya itu dalam waktu yang lebih singkat tanpa bantuan putrinya. Namun di akhir hari, ia tidak saja memiliki pijakan batu yang baru, tetapi juga seorang putri kecil yang hatinya dipenuhi dengan letupan rasa bangga. “Aku dan ayah berhasil membuat pijakan batu,” katanya saat makan malam.
Sejak awal, Allah telah memberi kepercayaan kepada umat manusia untuk memperluas pekerjaan-Nya. Setelah memperlengkapi Adam untuk mengolah tanah dan memelihara kawanan binatang, Allah menyerahkan pemeliharaan taman itu ke tangan Adam (Kej. 2:15-20).
Pola ini terus berlanjut. Saat Allah menghendaki kediaman di bumi, Dia tidak menurunkan kemah dan bait dari langit; melainkan ribuan perajin dan seniman bekerja membuatnya (Kel. 35-38; 1Raj. 6). Saat Yesus menyiarkan hadirnya pemerintahan baru dari kerajaan Allah di bumi, Dia mengajak manusia untuk terlibat. Dia berkata kepada para murid-Nya, “Mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (Mat. 9:38).
Sebagaimana yang dilakukan seorang ayah dengan anaknya, Allah menyambut kita sebagai rekan kerja dalam kerajaan-Nya. —PDY
Bapa Surgawi, aku bersyukur bahwa dalam hikmat dan kasih-Mu,
Engkau mengundang kami untuk menunaikan perbuatan kasih,
pelayanan, dan kebaikan yang Engkau kerjakan di atas bumi ini.
Aku bersyukur atas hak istimewa menjadi rekan kerja-Mu.
Allah menggunakan hamba-hamba yang sederhana untuk menunaikan karya-Nya yang agung.
Tuesday, March 4, 2014
Jangan Lagi Berprasangka
Saudara-saudaraku! Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan Yang Mahamulia, janganlah kalian membeda-bedakan orang berdasarkan hal-hal lahir. —Yakobus 2:1 BIS
Sebuah survei oleh Newsweek pada tahun 2010 menunjukkan statistik yang mengejutkan: 57 persen dari para manajer yang menerima surat lamaran kerja meyakini bahwa pelamar kerja yang berpenampilan kurang menarik (sekalipun memenuhi persyaratan) akan lebih sulit mendapatkan pekerjaan; 84 persen berkata bahwa atasan mereka enggan merekrut seseorang yang lebih tua meski ia memenuhi persyaratan; 64 persen meyakini bahwa perusahaan seharusnya boleh merekrut orang berdasarkan penampilannya. Semua itu merupakan contoh nyata dari sikap prasangka yang tidak dapat diterima.
Prasangka bukanlah hal yang baru. Sikap itu telah menjalar di tengah gereja mula-mula, dan Yakobus menentangnya secara terang-terangan. Dengan keteguhan bak seorang nabi dan hati seorang gembala ia menulis, “Saudara-saudaraku! Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan Yang Mahamulia, janganlah kalian membeda-bedakan orang berdasarkan hal-hal lahir” (Yak. 2:1 BIS). Yakobus menyebut sikap lebih menghormati yang kaya dan tidak mengindahkan yang miskin (ay.2-4) sebagai contoh dari sikap membeda-bedakan orang yang ia maksud. Hal itu tidak sejalan dengan iman kepada Yesus yang tidak membeda-bedakan orang (ay.1), menghina anugerah Allah (ay.5-7), melanggar hukum kasih (ay.8), dan merupakan perbuatan dosa (ay.9). Untuk melawan sikap membeda-bedakan orang, kita patut mengikuti teladan Yesus: mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.
Kita berperang melawan sikap prasangka yang berdosa saat kita menerapkan kasih Allah secara nyata lewat sikap kita dalam mengasihi dan memperlakukan sesama. —MLW
Sebuah survei oleh Newsweek pada tahun 2010 menunjukkan statistik yang mengejutkan: 57 persen dari para manajer yang menerima surat lamaran kerja meyakini bahwa pelamar kerja yang berpenampilan kurang menarik (sekalipun memenuhi persyaratan) akan lebih sulit mendapatkan pekerjaan; 84 persen berkata bahwa atasan mereka enggan merekrut seseorang yang lebih tua meski ia memenuhi persyaratan; 64 persen meyakini bahwa perusahaan seharusnya boleh merekrut orang berdasarkan penampilannya. Semua itu merupakan contoh nyata dari sikap prasangka yang tidak dapat diterima.
Prasangka bukanlah hal yang baru. Sikap itu telah menjalar di tengah gereja mula-mula, dan Yakobus menentangnya secara terang-terangan. Dengan keteguhan bak seorang nabi dan hati seorang gembala ia menulis, “Saudara-saudaraku! Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan Yang Mahamulia, janganlah kalian membeda-bedakan orang berdasarkan hal-hal lahir” (Yak. 2:1 BIS). Yakobus menyebut sikap lebih menghormati yang kaya dan tidak mengindahkan yang miskin (ay.2-4) sebagai contoh dari sikap membeda-bedakan orang yang ia maksud. Hal itu tidak sejalan dengan iman kepada Yesus yang tidak membeda-bedakan orang (ay.1), menghina anugerah Allah (ay.5-7), melanggar hukum kasih (ay.8), dan merupakan perbuatan dosa (ay.9). Untuk melawan sikap membeda-bedakan orang, kita patut mengikuti teladan Yesus: mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.
Kita berperang melawan sikap prasangka yang berdosa saat kita menerapkan kasih Allah secara nyata lewat sikap kita dalam mengasihi dan memperlakukan sesama. —MLW
UNTUK DIRENUNGKAN
Faktor apakah yang mendorongmu untuk memperlakukan orang
lain secara layak? Apakah itu didasarkan pada hal-hal lahiriah? Apa
saja caramu dalam mengasihi sesama seperti yang Yesus lakukan?
Memandang kepada Yesus menghindarkan kita dari memandang rendah sesama.
Monday, March 3, 2014
Kepuasan Instan
Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! —Mazmur 27:14
Ketika kamera Polaroid SX-70 diperkenalkan pada tahun 1972, terjadilah revolusi dalam dunia fotografi. Sebuah artikel yang ditulis Owen Edward di majalah Smithsonian menggambarkan kamera tersebut sebagai “sebuah keajaiban dalam bidang fisika, optik, dan elektronik”. Ketika kamera itu dijepret, “selembar kertas kosong berukuran kotak persegi akan keluar dari bagian depan kamera dan gambarnya berangsur-angsur muncul di depan mata kita”. Orang-orang tertarik untuk membelinya karena hasil fotonya bisa dilihat langsung saat itu juga.
Oswald Chambers melihat adanya hubungan yang kuat antara keinginan kita akan sesuatu yang instan dengan nafsu dalam diri kita: “Sebenarnya nafsu itu berarti, ‘Aku harus memilikinya sekarang juga’; objeknya bisa berupa suatu kepuasan jasmani atau sesuatu yang rohani. . . . Artinya, aku tidak bisa menunggu waktunya Allah, Allah begitu tidak peduli; demikianlah nafsu bekerja dalam diri kita.”
Dalam Mazmur 27, Daud menulis tentang penantiannya akan Allah di tengah suatu masa yang sangat sulit dan seakan tidak ada jalan keluar. Daripada menyerah dan berputus asa, Daud tetap mempertahankan keyakinannya bahwa ia akan “melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup” (ay.13).
Kita hidup di tengah dunia yang mengejar hal-hal yang bersifat instan. Ketika rasanya keinginan hati kita yang terdalam tidak juga dipenuhi, pemazmur mendorong kita untuk tetap berharap kepada Allah yang kekal. “Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (ay.14). —DCM
Ketika kamera Polaroid SX-70 diperkenalkan pada tahun 1972, terjadilah revolusi dalam dunia fotografi. Sebuah artikel yang ditulis Owen Edward di majalah Smithsonian menggambarkan kamera tersebut sebagai “sebuah keajaiban dalam bidang fisika, optik, dan elektronik”. Ketika kamera itu dijepret, “selembar kertas kosong berukuran kotak persegi akan keluar dari bagian depan kamera dan gambarnya berangsur-angsur muncul di depan mata kita”. Orang-orang tertarik untuk membelinya karena hasil fotonya bisa dilihat langsung saat itu juga.
Oswald Chambers melihat adanya hubungan yang kuat antara keinginan kita akan sesuatu yang instan dengan nafsu dalam diri kita: “Sebenarnya nafsu itu berarti, ‘Aku harus memilikinya sekarang juga’; objeknya bisa berupa suatu kepuasan jasmani atau sesuatu yang rohani. . . . Artinya, aku tidak bisa menunggu waktunya Allah, Allah begitu tidak peduli; demikianlah nafsu bekerja dalam diri kita.”
Dalam Mazmur 27, Daud menulis tentang penantiannya akan Allah di tengah suatu masa yang sangat sulit dan seakan tidak ada jalan keluar. Daripada menyerah dan berputus asa, Daud tetap mempertahankan keyakinannya bahwa ia akan “melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup” (ay.13).
Kita hidup di tengah dunia yang mengejar hal-hal yang bersifat instan. Ketika rasanya keinginan hati kita yang terdalam tidak juga dipenuhi, pemazmur mendorong kita untuk tetap berharap kepada Allah yang kekal. “Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (ay.14). —DCM
Tolonglah aku, ya Allah, untuk merasa cukup! Jagalah mulutku
dari menikmati hasrat yang sia-sia dan tak terkendali—sebaliknya,
biarlah Aku mengakui Engkau sebagai Tuhan dan Raja,
bersujud, berdoa, dan menanti sampai kulihat wajah-Mu! —Adams
Jawaban bagi hasrat kita akan hal yang instan adalah dengan memusatkan diri pada hal yang kekal.
Sunday, March 2, 2014
Kasih Yesus Untuk Semua
Sambil memikul salib-Nya Ia pergi ke luar ke tempat yang bernama Tempat Tengkorak, . . . dan di situ Ia disalibkan mereka. —Yohanes 19:17-18
Sesuatu yang agak tidak biasa terjadi. Hari itu, tiga kali saya mendengar sebuah lagu yang sama. Siang harinya, saya menghadiri kebaktian puji-pujian di sebuah panti wreda. Dalam doanya di akhir kebersamaan kami, Willie, salah seorang wanita penghuni panti, berkata, “Mari kita nyanyikan, ‘Yesus Sayang Padaku’.” Malam harinya, saya menghadiri pertemuan dengan kaum muda yang juga menyanyikan lagu itu dengan ketukan irama dari tangan dan kaki mereka. Kemudian di penghujung malam itu, saya menerima pesan di telepon yang berisi rekaman suara cucu keponakan saya yang berumur 2½ tahun. Dengan suara lembut nan merdu ia bernyanyi, “Walau ‘ku kecil, lemah, aku ini milik-Nya.” Baik yang berusia 90-an tahun, anak-anak muda, maupun seorang balita sama-sama menyanyikan lagu tersebut hari itu.
Setelah mendengarkan lagu sederhana itu tiga kali, saya mulai berpikir bahwa Tuhan mungkin hendak mengatakan sesuatu kepada saya. Sebenarnya, Dia telah menyatakannya sejak dahulu kala: “Aku mengasihimu.” Kita membaca di Yohanes 19 bahwa Dia membiarkan orang-orang untuk menaruh mahkota duri di kepala-Nya, mengolok-olok-Nya, memukul-Nya, menelanjangi-Nya, dan menyalibkan-Nya (ay.1-6). Dia punya kuasa untuk menghentikan mereka, tetapi Dia tidak banyak berkata-kata (ay.11). Dia melakukan semuanya itu karena kasih-Nya demi menebus kita dari dosa dan menyelamatkan kita dari penghakiman.
Seberapa besar kasih Allah kepada kita? Yesus merentangkan tangan-Nya dan dipaku di kayu salib. Dia mati untuk kita, dan bangkit kembali. Itulah bukti kasih-Nya bagi siapa saja, tua atau muda. —AMC
Sesuatu yang agak tidak biasa terjadi. Hari itu, tiga kali saya mendengar sebuah lagu yang sama. Siang harinya, saya menghadiri kebaktian puji-pujian di sebuah panti wreda. Dalam doanya di akhir kebersamaan kami, Willie, salah seorang wanita penghuni panti, berkata, “Mari kita nyanyikan, ‘Yesus Sayang Padaku’.” Malam harinya, saya menghadiri pertemuan dengan kaum muda yang juga menyanyikan lagu itu dengan ketukan irama dari tangan dan kaki mereka. Kemudian di penghujung malam itu, saya menerima pesan di telepon yang berisi rekaman suara cucu keponakan saya yang berumur 2½ tahun. Dengan suara lembut nan merdu ia bernyanyi, “Walau ‘ku kecil, lemah, aku ini milik-Nya.” Baik yang berusia 90-an tahun, anak-anak muda, maupun seorang balita sama-sama menyanyikan lagu tersebut hari itu.
Setelah mendengarkan lagu sederhana itu tiga kali, saya mulai berpikir bahwa Tuhan mungkin hendak mengatakan sesuatu kepada saya. Sebenarnya, Dia telah menyatakannya sejak dahulu kala: “Aku mengasihimu.” Kita membaca di Yohanes 19 bahwa Dia membiarkan orang-orang untuk menaruh mahkota duri di kepala-Nya, mengolok-olok-Nya, memukul-Nya, menelanjangi-Nya, dan menyalibkan-Nya (ay.1-6). Dia punya kuasa untuk menghentikan mereka, tetapi Dia tidak banyak berkata-kata (ay.11). Dia melakukan semuanya itu karena kasih-Nya demi menebus kita dari dosa dan menyelamatkan kita dari penghakiman.
Seberapa besar kasih Allah kepada kita? Yesus merentangkan tangan-Nya dan dipaku di kayu salib. Dia mati untuk kita, dan bangkit kembali. Itulah bukti kasih-Nya bagi siapa saja, tua atau muda. —AMC
Yesus sayang padaku;
Alkitab mengajarku.
Walau ‘ku kecil, lemah,
Aku ini milik-Nya. —Warner
(Kidung Jemaat, No. 184)
Ukuran sejati dari kasih Allah adalah Dia mengasihi dengan kasih yang tak terukur! —Bernard dari Clairvaux
Saturday, March 1, 2014
Terbitnya Mentari
Musa berkata: “Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu.” —Keluaran 3:3
Tadi pagi matahari terbit dengan indahnya, tetapi saya terlalu sibuk untuk menikmatinya. Saya tidak mengindahkannya dan sibuk dengan hal-hal lain. Saya terpikir tentang pemandangan indah itu beberapa saat yang lalu, dan saya pun sadar telah kehilangan kesempatan untuk memuji Allah pagi ini.
Di tengah hari-hari yang sibuk dan penuh dengan tekanan, masih ada berkas-berkas keindahan di sekitar kita yang memancarkan kebaikan Allah di sana-sini. Semua ini bagaikan cahaya surgawi yang menerobos masuk ke tengah alam semesta—ketika kita mau menyediakan waktu untuk berdiam sejenak dan merenungkan kasih-Nya atas kita.
Entah apa yang terjadi apabila Musa hanya melirik pada semak duri yang menyala “tetapi tidak dimakan api” itu (Kel. 3:2)? Entah apa yang terjadi apabila ia mengabaikannya dan dengan segera memilih untuk melakukan hal lain? (Tentu saja ia harus menjaga domba-dombanya dan melakukan tugas-tugas penting lainnya). Bisa jadi, ia akan kehilangan kesempatan luar biasa untuk bertemu dengan Allah yang hidup—peristiwa yang mengubah seluruh hidupnya (ay.4-12).
Adakalanya dalam hidup kita harus melakukan sesuatu dengan cepat. Namun secara keseluruhan, hidup haruslah dijalani dengan tidak terburu-buru dan lebih peka pada keadaan yang ada. Hiduplah dengan menjalani masa kini. Hiduplah dengan penuh kesadaran; dan lihatlah pancaran kasih Allah yang menerobos masuk dalam hidup kita. Hiduplah dengan memperhatikan keajaiban yang sedang terjadi, seperti peristiwa terbitnya mentari. Peristiwa itu mungkin bersifat sementara, tetapi itu melambangkan keabadian yang sedang menanti kita. —DHR
Tadi pagi matahari terbit dengan indahnya, tetapi saya terlalu sibuk untuk menikmatinya. Saya tidak mengindahkannya dan sibuk dengan hal-hal lain. Saya terpikir tentang pemandangan indah itu beberapa saat yang lalu, dan saya pun sadar telah kehilangan kesempatan untuk memuji Allah pagi ini.
Di tengah hari-hari yang sibuk dan penuh dengan tekanan, masih ada berkas-berkas keindahan di sekitar kita yang memancarkan kebaikan Allah di sana-sini. Semua ini bagaikan cahaya surgawi yang menerobos masuk ke tengah alam semesta—ketika kita mau menyediakan waktu untuk berdiam sejenak dan merenungkan kasih-Nya atas kita.
Entah apa yang terjadi apabila Musa hanya melirik pada semak duri yang menyala “tetapi tidak dimakan api” itu (Kel. 3:2)? Entah apa yang terjadi apabila ia mengabaikannya dan dengan segera memilih untuk melakukan hal lain? (Tentu saja ia harus menjaga domba-dombanya dan melakukan tugas-tugas penting lainnya). Bisa jadi, ia akan kehilangan kesempatan luar biasa untuk bertemu dengan Allah yang hidup—peristiwa yang mengubah seluruh hidupnya (ay.4-12).
Adakalanya dalam hidup kita harus melakukan sesuatu dengan cepat. Namun secara keseluruhan, hidup haruslah dijalani dengan tidak terburu-buru dan lebih peka pada keadaan yang ada. Hiduplah dengan menjalani masa kini. Hiduplah dengan penuh kesadaran; dan lihatlah pancaran kasih Allah yang menerobos masuk dalam hidup kita. Hiduplah dengan memperhatikan keajaiban yang sedang terjadi, seperti peristiwa terbitnya mentari. Peristiwa itu mungkin bersifat sementara, tetapi itu melambangkan keabadian yang sedang menanti kita. —DHR
Bukakan mataku Tuhan,
‘Tuk lihat kebenaran-Mu
B’ri padaku kunci ajaib,
‘Tuk lepaskan belengguku. —Scott
(Kidung Puji-Pujian Kristen, No. 294)
Bukakan mataku Tuhan untuk melihat kebenaran-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar